Sudah waktunya bagi para pemimpin untuk mengakui bahwa perempuan bukan hanya pemangku kepentingan dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Mereka adalah pemimpin, inovator, dan penggerak perubahan transformatif.
Absennya perempuan di COP28 bukan sekadar kekeliruan visual; hal ini mencerminkan masalah sistemik yang memerlukan perhatian segera.
Baca juga: Indonesia Tak Kurang Aturan Perlindungan Perempuan, Penegakan Hukumnya Perlu Dibenahi
Seruan untuk kesetaraan gender dalam diskusi iklim bukan sekedar tokenisme; ini tentang mengakui fakta yang tidak dapat disangkal bahwa perempuan adalah kunci untuk mencapai keadilan iklim.
Urgensi krisis iklim menuntut adanya kesatuan yang mencakup semua perspektif, tanpa memandang gender. Dengan memupuk keberagaman dan inklusivitas dalam pengambilan keputusan terkait perubahan iklim, kita dapat membentuk jalan menuju masa depan yang berkelanjutan dan adil.
"Saat kita mencermati foto keluarga para pemimpin dunia di COP28, jangan lupa bahwa perjuangan melawan perubahan iklim memerlukan upaya yang benar-benar global dan inklusif gender," kata Brianna.
Dia mengatakan, saatnya untuk mendobrak langit-langit kaca dan memastikan bahwa suara perempuan tidak hanya didengar namun juga penting dalam narasi keadilan iklim.
"Kelangsungan hidup planet ini bergantung pada hal ini, begitu pula kesejahteraan setiap orang, apa pun jenis kelaminnya," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya