KOMPAS.com - Sampai saat ini, para pembela hak asasi manusia (HAM) masih sering berada di situasi yang memprihatinkan dalam menjalankan pekerjaannya.
Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) RI Atnike Nova Sigiro di Bogor, Jawa Barat, Kamis (06/12/2023).
Pembela HAM, tutur Atnike, kerap mendapatkan ancaman maupun serangan atas kegiatan mereka dalam memajukan dan menegakkan HAM.
Baca juga: Debat Capres-Cawapres soal Isu HAM Diharap Tak Sekadar Formalitas
Menurutnya, ancaman dan serangan itu bertujuan menghentikan upaya-upaya yang dilakukan oleh pembela HAM, sebagaimana dilansir Antara.
Dia menambahkan, ancaman dan serangan terhadap pembela HAM terjadi dalam berbagai bentuk.
"Seperti penghalangan atau pembatasan terhadap kegiatan pembelaan dan pemajuan HAM, serangan fisik, psikis, verbal, seksual baik secara langsung maupun melalui sarana digital, fitnah, diskriminasi, penyalahgunaan proses hukum, dan berbagai bentuk lainnya," paparAtnike.
Selain itu, pembela HAM juga sering mengalami intimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti perundungan dan penyebaran informasi pribadi di media sosial.
Baca juga: KontraS Usul 9 Topik HAM Dibahas dalam Debat Perdana Capres-Cawapres
Tindakan-tindakan itu dilakukan untuk merusak reputasi dan memberikan stigma buruk terhadap pembela HAM.
Atnike menyoroti data yang disampaikan Pelapor Khusus PBB tentang Situasi Pembela HAM periode 2020–2023 Mary Lawlor.
Dalam laporan tersebut, sepanjang 2015–2019, pembunuhan terhadap pembela HAM paling tidak terjadi di 64 negara, termasuk Indonesia.
Sedangkan di Indonesia, sepanjang 2020–2023, Komnas HAM menerima sebanyak 39 aduan mengenai dugaan pelanggaran HAM para pembela HAM dari berbagai wilayah di Indonesia.
Baca juga: Amnesty International Serahkan Agenda HAM ke 3 Tim Kampanye Capres-Cawapres
Aduan itu meliputi ancaman dan serangan berkaitan hak atas rasa aman, hak memperoleh keadilan, hak hidup, serta hak berpendapat dan berekspresi.
"Jumlah aduan yang diterima Komnas HAM tidak merefleksikan realitas utuh dari situasi pembela HAM di Indonesia. Itu hanyalah puncak gunung es karena kita tahu tidak semua pembela HAM menyadari aktivitas yang dilakukannya merupakan aktivitas seorang pembela HAM," kata Atnike.
Di sisi lain, perempuan pembela HAM juga mengalami kekerasan yang berbeda. Mereka sering mendapat kekerasan seksual dan serangan terhadap reputasi keperempuannya.
Demikian pula halnya pembela HAM yang berasal dari kelompok rentan dan minoritas, seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, minoritas suku, agama dan kepercayaan, minoritas orientasi seksual dan identitas gender, orang lanjut usia, anak- anak, pekerja migran, dan pengungsi.
Baca juga: Amnesty International Minta Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masuk Agenda Debat Capres-Cawapres
Atnike meminta komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengadopsi peraturan perundang-undangan dan menerapkan kebijakan komprehensif bagi perlindungan pembela HAM.
Dia juga mengajak lembaga HAM lainnya seperti Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Disabilitas (KND), akademisi, dan gerakan masyarakat sipil, termasuk negara untuk melindungi pembela HAM.
"Komnas HAM tak dapat berjalan sendiri. Pemajuan dan perlindungan terhadap pembela HAM membutuhkan gerak bersama," tuturnya.
Baca juga: Amnesty: Pemerintah Langgar HAM jika Kembalikan Pengungsi Rohingya ke Myanmar
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya