Bagi pelajar, penurunan prestasi akademik dan berkurangnya minat terhadap sekolah dan interaksi dengan guru dan teman, juga harus diwaspadai.
Beberapa perencana bunuh diri bahkan sudah mempersiapkan surat wasiat dan memberikan barang-barang favoritnya. Kalau tidak, ia menulis atau menggambar tentang kematian atau bunuh diri. Terutama bagi mereka yang sering kesulitan mengungkapkan emosi yang intens secara verbal.
Anak yang pernah melakukan upaya bunuh diri juga lebih berisiko mengulangi upayanya. Juga anak yang mengalami kehilangan (termasuk kesedihan dan hilangnya hubungan karena perceraian atau perselisihan keluarga), penolakan, kekerasan atau menyaksikan kekerasan.
Ulifa mengingatkan, sinyal-sinyal tersebut harus direspon secara serius dan matang. Jangan mengabaikan ancaman dari pelaku dengan menganggap hal tersebut hanya merupakan upaya untuk menarik perhatian.
Baca juga: Enam Remaja Beraksi, Bangun Akses Air Bersih dan Sanitasi Warga
"Cobalah ajukan pertanyaan spesifik terkait apa yang disampaikan dan berikan empati saat pelaku mengalami krisis emosional. Serta berikan dukungan secara tepat agar anak dapat mengatasi perasaan dan pemicunya. Jika masih merasa kurang yakin, jangan menunggu lagi untuk merujuk kepada profesional (psikolog/psikiater)," tutur Ulfa.
Dia menambahkan pentingnya meningkatkan kesadaran literasi kesehatan mental baik kepada remaja, guru dan orang tua sebagai upaya preventif.
"Hal ini bertujuan agar individu mampu memiliki pengetahuan, keyakinan dan sikap untuk melakukan identifikasi faktor risiko/penyebab, melakukan manajemen dan pencegahan masalah kesehatan mental," tuntasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya