JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu penyebab tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja, 985 kasus dari 2.112 kasus selama 2012-2023, adalah masalah kesehatan mental.
Berdasarkan data Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022, sekitar 1 dari 20 remaja atau 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental, biasa disebut orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Sementara, sekitar sepertiga atau 34,9 persen memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI Ana Susanti memaparkan faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab masalah kesehatan mental pada remaja.
"Di antaranya tekanan akademik, pergeseran sosial, pengaruh media sosial dan totalitas harapan yang tinggi dari orang tua atau keluarga," ujar Ana dalam webinar berjudul “Literasi Kesehatan Mental untuk Pencegahan Kasus Bunuh Diri pada Remaja”, yang digelar Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB), Sabtu (16/12/23).
Baca juga: Waspada, Anemia pada Remaja Putri Bawa Pengaruh Jangka Panjang hingga Jadi Faktor Stunting
Adapun empat tanda dan gejala yang bisa dicermati pada remaja yang mengalami masalah gangguan kesehatan mental, yakni perubahan mood secara drastis, perubahan pola tidur dan pola makan, menurunnya minat dan energi, serta perubahan perilaku secara drastis termasuk penarikan diri dan perilaku merusak.
Sementara Psikolog dan Dosen Prodi Psikologi dari FISIP Universitas Brawijaya Ulifa Rahma menambahkan, hasil survei yang dilakukan bersama tim Universitas Brawijaya dengan melibatkan 202 remaja usia 12-20 tahun terungkap bahwa efikasi diri (kepercayaan terhadap kemampuan diri), penerimaan lingkungan sosial dan depresi menjadi prediktor (variabel yang mempengaruhi) munculnya ide bunuh diri pada remaja dengan kontribusi sebesar 52 persen.
Sinyal bunuh diri yang harus diwaspadai
Sebagai salah satu prediktor munculnya ide untuk bunuh diri, depresi yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai mayor depressive disoder (MDD) memiliki beberapa karakteristik.
Antara lain timbulnya suasana perasaan yang rendah pada hampir seluruh situasi dan terjadi setidaknya selama dua minggu.
Gejala tersebut juga disertai dengan rendahnya harga diri, hilangnya minat pada aktivitas yang biasanya disukai, energi yang rendah dan rasa nyeri tanpa penyebab yang jelas.
Beberapa respon yang bisa muncul dari remaja yang mendapat serangan gangguan mental adalah menyakiti diri sendiri (self harm) seperti menyayat kulit, membakar bagian tubuh dan membenturkan bagian tubuh, terpikir untuk bunuh diri (suicide ideation), kecanduan game dan pornografi, kecanduan alkohol dan lain-lain.
Baca juga: Remaja Putri Perlu Waspadai Anemia untuk Cegah Anak Stunting
"Self harm memang belum masuk dalam kategori percobaan bunuh diri, namun perilaku tersebut bisa berkembang menjadi bunuh diri," imbuh Ulfa.
Adapun beberapa warning signs kecenderungan bunuh diri pada remaja yang harus segera direspon dengan tepat, yaitu berbicara bahwa ia adalah beban dari bagi orang lain, menarik diri dari keluarga dan teman, menunjukkan kemarahan atau bicara mengenai keinginan untuk membalas dendam.
Selain itu juga perasaan cemas atau agitasi, dan peningkatan frekuensi penggunaan alkohol bagi yang sudah menjadi pecandu.
Bagi pelajar, penurunan prestasi akademik dan berkurangnya minat terhadap sekolah dan interaksi dengan guru dan teman, juga harus diwaspadai.
Beberapa perencana bunuh diri bahkan sudah mempersiapkan surat wasiat dan memberikan barang-barang favoritnya. Kalau tidak, ia menulis atau menggambar tentang kematian atau bunuh diri. Terutama bagi mereka yang sering kesulitan mengungkapkan emosi yang intens secara verbal.
Anak yang pernah melakukan upaya bunuh diri juga lebih berisiko mengulangi upayanya. Juga anak yang mengalami kehilangan (termasuk kesedihan dan hilangnya hubungan karena perceraian atau perselisihan keluarga), penolakan, kekerasan atau menyaksikan kekerasan.
Ulifa mengingatkan, sinyal-sinyal tersebut harus direspon secara serius dan matang. Jangan mengabaikan ancaman dari pelaku dengan menganggap hal tersebut hanya merupakan upaya untuk menarik perhatian.
Baca juga: Enam Remaja Beraksi, Bangun Akses Air Bersih dan Sanitasi Warga
"Cobalah ajukan pertanyaan spesifik terkait apa yang disampaikan dan berikan empati saat pelaku mengalami krisis emosional. Serta berikan dukungan secara tepat agar anak dapat mengatasi perasaan dan pemicunya. Jika masih merasa kurang yakin, jangan menunggu lagi untuk merujuk kepada profesional (psikolog/psikiater)," tutur Ulfa.
Dia menambahkan pentingnya meningkatkan kesadaran literasi kesehatan mental baik kepada remaja, guru dan orang tua sebagai upaya preventif.
"Hal ini bertujuan agar individu mampu memiliki pengetahuan, keyakinan dan sikap untuk melakukan identifikasi faktor risiko/penyebab, melakukan manajemen dan pencegahan masalah kesehatan mental," tuntasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya