Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/12/2023, 13:19 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Perubahan iklim memperparah dampak El Nino. Musim kemarau pun makin panjang, sebaliknya musim hujan kian pendek.

Akhir-akhir ini cuaca memang tak menentu. Hari ini bisa hujan deras, besoknya gantian panas terik. Atau, mendung berhari-hari tapi gerahnya bukan main.

Di ibu kota Jakarta, bulan November lalu sudah sempat turun hujan. Namun berjalan sebentar. Gantinya, panas terik hingga beberapa minggu.

Kini, Senin 25 Desember 2023, tepat Hari Natal, mulai mendung dan hujan lagi. Di beberapa wilayah lain di nusantara justru mengalami banjir.

Pakar meteorologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian mengatakan, puncak musim kemarau saat ini masih berlangsung antara September sampai Januari 2024. Hal ini disebabkan fenomena El Nino yang dampaknya makin parah akibat perubahan iklim.

Menurutnya, hawa panas masih sangat terasa. Saat ini belum musim hujan. Indonesia masih berada di tengah musim kemarau yang memanjang, dari September sampai Januari 2024.

Baca juga: Tahukah Anda? Gajah Afrika Berperan Penting Lawan Perubahan Iklim

Bagi masyarakat, suhu sebenarnya lebih tinggi dari yang dirasakan. Jika kita merasa suhu 36°, tetapi karena dampak El Nino, suhu sesungguhnya adalah 38-39°.

"Kalau kita ke Arab Saudi, terasa seperti 31°, suhu aslinya bisa 36°-37°. Jadi lebih panas dari yang terasa,” ucap Edvin, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Senin (25/12/2023).

Fenomena El Nino bisa dilihat dari kenaikan rata-rata suhu air laut Samudra Pasifik yang berada di atas normal. Hal ini mengakibatkan curah hujan berkurang dan musim kemarau memanjang.

Di Indonesia, hal ini sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu dan terus bertransisi. Musim hujan diperkirakan baru akan terjadi di sekitar Januari sampai Februari 2024 saja, sebelum masuk lagi ke musim panas.

Musim hujan yang pendek ini menimbulkan kekhawatiran karena curah hujan yang tumpah bisa lebih intens. Bencana yang terkait dengan air seperti banjir dan longsor bisa semakin di depan mata.

Memang betul, dunia kini sedang panas-panasnya, yang basah semakin basah. Sementara yang kering akan menjadi lebih kering.

"Tapi yang dikhawatirkan di Indonesia itu adalah yang basah semakin basah. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat yang kena banjir bandang,” cetus Edvin.

Dia menguraikan dampak perubahan iklim terhadap kenaikan curah hujan. Pertama, pemanasan iklim menyebabkan peningkatan curah hujan ekstrem di sebagian besar dunia.

Baca juga: Malang Raya Butuh Pemimpin Pro-Iklim

Peningkatan ini terjadi karena pemanasan udara, yang terkait dengan peningkatan kapasitas penampungan air dan kelembaban air.

Kedua, hujan lokal dengan intensitas tinggi memiliki lebih banyak uap air saat udara lebih panas. Sehingga, badai besar menghasilkan lebih banyak hujan, menyebabkan banjir dan tanah longsor. Saat udara panas, kemungkinan kebakaran hutan juga naik karena kekeringan.

Ketiga, dengan proyeksi terus meningkatnya suhu udara, fenomena ini akan terus berlanjut. Oleh karena itu, kemungkinan besar akan ada frekuensi dan intensitas hujan ekstrem yang lebih tinggi di masa depan, meskipun tidak dapat diprediksi;

Saat atmosfer menyerap lebih banyak kelembaban, ia membuang lebih banyak presipitasi selama badai. Para ilmuwan memprediksikan peningkatan sekitar 7 persen pada intensitas presipitasi, atau proses di mana air hujan turun ke bumi, selama badai ekstrem untuk pemanasan setiap 1° Celcius

Peningkatan intensitas hujan dapat diprediksikan sekitar 10 persen mengingat tingkat pemanasan saat ini. 

Selanjutnya deforestasi dan tingkat urbanisasi yang relatif tinggi telah mengubah lanskap seiring waktu, meningkatkan jumlah orang dan aset yang terpapar banjir, dan mengurangi drainase air hujan.

Sebaliknya, dalam analisis suhu global selama 12 bulan terakhir (1 November 2022 hingga 31 Oktober 2023) di 175 negara, pusat studi Climate Central menemukan indikasi kuat peningkatan suhu rata-rata global.

Menurut Climate Central, suhu rata-rata global 12 bulan terakhir (1 November 2022 hingga 31 Oktober 2023) mencapai rekor tertinggi dalam sejarah pencatatan manusia.

Baca juga: Dukung Mitigasi Perubahan Iklim, Pemerintah Perkuat Ekosistem Karbon Biru

Perkiraan suhu sekitar 1,32°C di atas ambang batas pra-industri (1850-1900), suhu ini lebih tinggi dari periode 12 bulan terpanas sebelumnya, yang mencapai 1,29°C di atas ambang batas, diukur dari bulan Oktober 2015 hingga bulan September 2016.

Climate Central juga menyebut, tren pemanasan global terus berlanjut dan diduga semakin dipercepat, akibat peningkatan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

Walaupun El Niño Southern Oscillation (ENSO) memengaruhi suhu global, namun tidak berdampak pada rekor suhu rata-rata global pada tahun ini.

Kendati demikian, ENSO diperkirakan akan berdampak pada suhu global tahun depan, pada angka 1,4°C lebih tinggi di atas ambang batas pra-industri.

Apa pengaruhnya bagi penduduk dunia?

Selama 12 bulan terakhir (November 2022-2023), 90 persen dari populasi dunia yang berjumlah 7,3 miliar orang, setidaknya mengalami peningkatan suhu yang dipengaruhi oleh perubahan iklim selama 10 hari, seperti yang ditunjukkan oleh Climate Shift Index (CSI).

Merujuk pada aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca melalui pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas alam.

Baca juga: Kesepakatan COP28 Dinilai Kurang Ambisius Cegah Krisis Iklim

Skala ini mengukur dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh manusia terhadap suhu harian di tingkat lokal.

Nilai positif pada CSI berkorelasi dengan suhu yang lebih panas akibat perubahan iklim, sedangkan nilai negatif berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya suhu yang lebih dingin iklim akibat aktivitas manusia.

Bagi negara-negara yang berada lebih dekat dengan khatulistiwa, di mana perubahan suhu sehari-hari lebih mudah terdeteksi, jumlah hari peningkatan suhu terjadi lebih tinggi lagi.

Dampaknya pada 175 negara yang dinilai adalah 108 negara memiliki skor CSI 1 atau lebih tinggi. Dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dirasakan paling kuat oleh negara-negara di luar kelompok G20 yang skor CSI-nya lebih tinggi.

Padahal ironisnya, mereka yang di luar G20 paling sedikit dalam pelepasan emisi gas rumah kaca. 

Dalam 12 bulan terakhir, negara-negara dengan skor CSI tertinggi adalah: Jamaika (4,5), Guatemala (4,4), Rwanda (4,1).

Dalam periode yang sama, negara-negara kelompok G20 dengan skor CSI tertinggi adalah: Indonesia (2,4), Arab Saudi (2,3), Meksiko (2,1).

Terjadinya pemanasan global secara signifikan pada paruh kedua yang mengakibatkan 90 persen dari permukaan tanah dan 92 persen dari penduduk dunia mengalami peningkatan suhu di atas rata-rata.

Baca juga: Pemerintah Alokasikan Pendanaan Proyek Mitigasi Iklim dalam APBN

Dampak percepatan ini juga dirasakan oleh negara-negara kelompok G20 meskipun skor CSI mereka umumnya lebih rendah.

Dari semua negara yang tergabung dalam kelompok G20, sembilan negara yang mengalami perubahan iklim dan pemanasan yang signifikan adalah Arab Saudi, Meksiko, Indonesia, India, Italia, Jepang, Brasil, Prancis, dan Turki.

Semua negara mengalami peningkatan skor CSI pada paruh kedua tahun tersebut kecuali empat negara anggota kelompok G20 yaitu Jerman, Rusia, Kanada, dan Argentina.

Peningkatan Gelombang Panas

Efek perubahan iklim juga mengakibatkan peningkatan gelombang panas. Sebanyak 26 persen dari populasi global yang berjumlah 1,9 miliar setidaknya mengalami panas ekstrem selama lima hari dan 24 persen memiliki skor CSI 2 atau lebih.

Dari hasil analisa di 700 kota, 156 kota mengalami kondisi panas ekstrem yang berlangsung setidaknya lima hari.

Dalam periode 12 bulan, puncak gelombang panas terpanjang dialami oleh Houston, Texas yang berlangsung selama 22 hari.

Diikuti oleh tiga kota dengan durasi 17 hari, dua kota dengan durasi 16 hari, dan empat kota dengan durasi 15 hari.

Baca juga: Pemerintah Alokasikan Pendanaan Proyek Mitigasi Iklim dalam APBN

Gelombang panas ini memiliki skor CSI rata-rata 5, nilai tertinggi dari skala tersebut. Gelombang panas ini sebagian besar terjadi pada paruh kedua.

Pemanasan dan perubahan iklim memberikan dampak negatif secara signifikan pada kondisi cuaca. Terjadinya peningkatan hujan, badai, dan banjir telah menyebabkan konsekuensi serius di seluruh dunia;

Banjir dan bencana alam terkait cuaca telah menyebabkan ribuan kematian dan jutaan orang harus mengungsi. Kasus kebakaran hutan juga meningkat, memaksa orang untuk mengungsi dari tempat tinggal mereka. 

Negara-negara di Amerika Tengah dan Amerika Selatan mengalami kerugian finansial, kendala dalam distribusi makanan dan air yang terbatas, serta gangguan perdagangan akibat kekeringan ekstrim dan penurunan pasokan air.

Masalah kesehatan terkait panas meningkat selama periode panas ekstrem, berdampak pada unit darurat di Italia seperti kasus yang terjadi saat pandemi Covid.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com