Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/01/2024, 07:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

 KOMPAS.com - Skema penggantian kerugian karbon atau carbon offset dianggap tidak memenuhi kriteria keberlanjutan.

Dilansir dari Euronews, Senin (1/1/2024), CEO Compensate Elina Kajosaari, organisasi nirlaba penangkap karbon, mengungkapkan beberapa alasan di baliknya.

Menurut perempuan dari Finlandia ini, alasan skema carbon offset gagal memenuhi standar keberlanjutan, salah satunya adalah karena pasar karbon penuh dengan proyek-proyek karbon berkualitas rendah yang tidak memberikan manfaat iklim yang dijanjikan.

"Atau memiliki konsekuensi negatif yang serius terhadap keanekaragaman hayati dan hak asasi manusia," ujarnya.

Baca juga: Menuju Nusantara Netral Karbon 2045, OIKN Siapkan 5 Strategi

Ia mengatakan, individu maupun dunia usaha seperti perusahaan multinasional, menggunakan kredit karbon yang dikeluarkan oleh proyek-proyek ini untuk mengimbangi emisi mereka.

Namun menurutnya, kompensasi melalui kredit semacam ini hanya memberikan dampak yang kecil atau bahkan merugikan terhadap iklim.

Alasan banyak carbon offset belum sesuai standar keberlanjutan

Elina memerinci, lima alasan utama mengapa proyek carbon offset sering kali tidak memenuhi kriteria keberlanjutan.

1. Sebagai tambahan

Alasan utama kegagalan proyek carbon offset adalah karena tidak memberikan manfaat iklim tambahan. Ini artinya proyek tersebut tidak berkontribusi pada peningkatan manfaat iklim, dibandingkan jika proyek tersebut tidak ada.

Ini bisa terjadi ketika carbon offset diberikan dengan melindungi hutan yang sebenarnya tidak pernah dalam bahaya.

Baca juga: Dukung Mitigasi Perubahan Iklim, Pemerintah Perkuat Ekosistem Karbon Biru

Contohnya, mungkin diklaim bahwa tanpa adanya proyek, pemilik hutan akan menebang 100 persen pohon di suatu area dalam lima atau 10 tahun.

Namun, jika hutan-hutan ini sudah dimiliki oleh pemilik tanah selama beberapa dekade tanpa ancaman deforestasi, kemungkinan besar penebangan tidak akan terjadi. Jadi, proyek tersebut tidak memberikan manfaat iklim tambahan.

Agar kredit karbon menjadi nyata, penjualan kredit harus menghasilkan atau mendorong manfaat iklim tambahan, yang tidak terjadi dalam kasus-kasus seperti ini.

2. Risiko besar bagi hutan

ilustrasi hutan.Unsplash/Waren Brasse ilustrasi hutan.
Ada risiko besar bagi hutan setelah sebuah proyek selesai, karena karbon yang diserap kemungkinan besar akan dilepaskan kembali ke udara.

Risiko ini bisa terjadi melalui beberapa cara, mulai dari bencana alam hingga penebangan ilegal, terutama di negara-negara dengan situasi politik yang tidak stabil.

Sebagai contoh, penyebab utama deforestasi di hutan hujan tropis adalah pemeliharaan ternak, serta produksi kedelai dan minyak kelapa sawit.

Baca juga: Pemprov Kaltim Susun Perda Perdagangan Karbon

Jika kegiatan-kegiatan ini terjadi di sekitar proyek, ada risiko tinggi bahwa setelah proyek berakhir, pemerintah akan memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan tersebut untuk menebang hutan dan menggunakan lahan untuk produksi komoditas.

3. Janji-janji peningkatan emisi yang tidak dapat diandalkan

Masalah umum yang muncul dalam banyak proyek adalah membesar-besarkan secara tidak wajar emisi dasar untuk menghasilkan lebih banyak kredit karbon untuk proyek. Sehingga, mengambil kredit untuk hal yang sebenarnya tidak dilakukan oleh proyek tersebut.

Emisi dasar merujuk pada emisi yang akan dilepaskan jika proyek tidak ada.

Contohnya, suatu proyek dilakukan di daerah kecil yang telah ditebang habis di dekat kota atau pantai sebagai daerah referensi.

Hutan hujan tropis Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya di Kabupaten Melawi di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masih tampak lestari, 21-09-2012. Saat ini semakin jarang ditemui hutan hujan tropis yang masih perawan. Ini terjadi karena maraknya penebangan hutan yang tidak disertai dengan pemuliaan hutan secara kontinyu  dan terprogram. KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN Hutan hujan tropis Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya di Kabupaten Melawi di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masih tampak lestari, 21-09-2012. Saat ini semakin jarang ditemui hutan hujan tropis yang masih perawan. Ini terjadi karena maraknya penebangan hutan yang tidak disertai dengan pemuliaan hutan secara kontinyu dan terprogram.
Proyek tersebut akan menggunakan daerah ini untuk memprediksi deforestasi hingga 100 persen dari seluruh area proyek yang terisolasi dengan kepadatan penduduk rendah selama 30 tahun ke depan.

Akibatnya, terjadi penerbitan dan penjualan kredit karbon di mana satu kredit karbon sebenarnya tidak setara dengan satu ton CO2 yang dihilangkan dari atmosfer, yang merupakan nilai perdagangan yang umumnya diterima di pasar.

4. Kredit karbon menyebabkan konflik di masyarakat

Dalam beberapa kasus, untuk mendirikan proyek yang menghasilkan kredit karbon, pemilik tanah (seperti pemerintah) mungkin memaksa menggusur orang-orang yang tinggal di wilayah proyek.

Seringkali, penggusuran ini menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Seperti yang terjadi pada 2019 saat Mahkamah Agung India memerintahkan penggusuran paksa jutaan orang yang tinggal di hutan, setelah kasus yang diajukan oleh organisasi konservasi satwa liar.

Atau proyek tersebut mungkin tidak memberikan manfaat yang dijanjikan, seperti pembangunan sekolah, atau masyarakat mungkin tidak puas dengan proses pembagian manfaat.

Sebagai contoh, pendapatan dari kredit karbon mungkin diinvestasikan dalam fasilitas (gudang atau pabrik penggilingan padi) yang hanya menguntungkan beberapa anggota masyarakat.

Bisa juga pembagian manfaat hanya ditujukan untuk pemilik tanah, sementara banyak anggota masyarakat tidak memiliki tanah. 

5. Reduksi emisi bergantung pada prediksi yang tidak jelas

Ilustrasi polusi udara di tambang batu baraNapatcha Ilustrasi polusi udara di tambang batu bara
Kredit yang menjanjikan pengurangan emisi di masa depan sering disebut sebagai kredit ex-ante.

Contohnya, menanam pohon kecil dan menjual kredit karbon berdasarkan CO2 potensial yang akan diserap oleh pohon ini saat tumbuh hingga dewasa selama 50 tahun ke depan.

Kredit tersebut bergantung pada perkiraan yang kurang pasti tentang keberhasilan di masa depan, sehingga emisi saat ini hanya akan dihapus pada masa depan.

Meskipun pertumbuhan stok karbon baru penting untuk mengatasi perubahan iklim, mengimbangi emisi hari ini dengan proyek-proyek yang akan menyerap jumlah CO2 yang sama selama 50 tahun ke depan, tidak dapat disebut sebagai kompensasi.

 

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau