MASYARAKAT adat di sejumlah wilayah di Indonesia memiliki ragam ritual untuk menjaga ketahanan pangan di komunitasnya.
Kehidupan masyarakat adat terbukti tangguh untuk mengatasi krisis pangan dan dapat dijadikan praktik baik di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan temuan lapangan melalui program Estungkara yang dilakukan KEMITRAAN dalam menggali pembelajaran praktik baik komunitas adat saat masa pandemi Covid-19 lalu.
Perempuan adat memiliki peran penting terhadap pengelolaan sumber daya alam di komunitas adat yang secara langsung berdampak pada ketahanan pangan di komunitasnya.
Masyarakat adat pada dasarnya memiliki ketergantungan tinggi pada sumber daya alam. Hutan dan lingkungan sekitar merupakan ruang hidup yang menjamin keberlangsungan hidup mereka dan komunitasnya.
Perempuan adat secara khusus memiliki peran penting sebagai penjaga pengetahuan adat. Mereka mewariskan pengetahuan-pengetahuan adat yang diperoleh dari leluhurnya agar pengelolaan lahan tetap selaras dengan kelestarian alam wilayah tempat tinggal.
Pengetahuan yang dimiliki perempuan adat diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang bertujuan menjaga keseimbangan alam agar dapat menjaga keberlanjutan nilai-nilai adat dan budaya.
Mereka memiliki peran dan fungsi penting dalam menjaga ketahanan adatnya di wilayah kelola perempuan adat.
Terdapat tiga hal yang menjadi aspek penting terkait ruang kelola perempuan adat, yaitu pengetahuan, otoritas, dan wilayah kelola.
Pengetahuan perempuan adat mencakup hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, seperti cara bertani, pengobatan, mengurus keluarga, dan menjalin hubungan dengan alam serta relasinya dengan lingkungan sekitar.
Sementara otoritas perempuan adat berkaitan dengan kewenangan atas pengaturan keberlangsungan kehidupan dan sumber-sumber penghidupan keluarga dan komunitas adat.
Berkaitan dengan wilayah kelola adat, di salah satu wilayah intervensi KEMITRAAN di Sigi, Sulawesi Tengah, perempuan adat memiliki wewenang dalam merancang pekerjaan pertanian.
Di komunitas adat To Kulawi, dikenal istilah Pampa, yaitu satu zonasi tradisional masyarakat adat, otoritas pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang dimiliki kaum perempuan.
Biasanya di Pampa, perempuan menanam tanaman pangan seperti ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran, serta tanaman penghasil bumbu dapur seperti bawang, rica, tomat. Ada juga tanaman buah-buahan, coklat, kayu-kayuan, pandan serta tanaman untuk bahan kerajinan.
Lahan untuk Pampa dipilih relatif dekat pemukiman. Pampa merupakan ‘dapur kedua’ bagi kaum perempuan, tempat mereka menanam berbagai macam tanaman untuk kebutuhan pangan keluarga.
“Hal ini juga menjadi salah satu cara melindungi perempuan agar lebih aman ketika berladang, karena untuk masuk ke hutan lebih berisiko,” ujar Mulyadi, Kepala Desa Toro, Sigi, Sulawesi Tengah.
Cerita masyarakat adat di wilayah Sigi menjadi contoh bagaimana tradisi pengelolaan lahan oleh komunitas adat, terutama perempuan adat dapat menjadi relevan dalam mengatasi ancaman kedaulatan pangan dan krisis iklim yang nyata.
Di sejumlah wilayah, dampak perubahan iklim kerap menyebabkan gagal tanam dan gagal panen. Oleh sebab itu, sistem pengelolaan lahan dengan kearifan lokal bisa menjadi solusi di tengah ancaman krisis iklim.
Oleh sebab itu, pemahaman akan nilai-nilai adat dan budaya leluhur melalui pengetahuan adat yang dimiliki oleh perempuan adat perlu terus didukung dengan memberikan ruang kelola bagi perempuan untuk mengelola lahannya.
Hal ini juga ditemui di masyarakat adat Kasepuhan yang merupakan Kesatuan Adat Banten Kidul. Bagi komunitas ini, menanam padi merupakan mata pencaharian utama.
Panen padi selalu dilakukan setiap tahunnya meski di tengah wabah pandemi Covid 19. Tradisi menanam padi merupakan salah satu identitas masyarakat adat Kasepuhan di mana menanam padi bukan sekadar soal pangan, tapi juga bagian spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan para leluhur
Pandemi Covid 19 tidak memberikan pengaruh terhadap siklus panen padi di masyarakat adat Kasepuhan. Saat panen, mereka akan membuat cadangan pangan mandiri yang disimpan dalam lumbung padi yang dinamakan Leuit.
Abah Maman, salah seorang tetua adat Kasepuhan Pasir Eurih mengatakan, ada berbagai macam kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Kasepuhan.
Paling utama adalah rukun tujuh (7 rukun tani), karena kehidupan sehari-hari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah bertani.
Abah Maman menekankan, apa yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih tidak terlepas dari ketahanan pangan dan penguatan kelompok masyarakat agar tetap menjaga nilai-nilai leluhur.
Ruang perempuan adat dalam siklus ini juga sangat dominan, mulai dari mengambil padi di leuit, menumbuk di saung lisung, menyimpan dan mengambil beras di pangdaringan, dan menanak nasi di goah.
Kedua cerita di atas menunjukkan bahwa pengetahuan perempuan adat dan terbukanya ruang partisipasi perempuan dalam komunitas dapat berkontribusi pada keberlangsungan komunitas hingga mendukung ketahanan pangan, baik untuk keluarga, maupun juga komunitasnya.
Berbicara perihal pangan tidak hanya berbicara soal komoditas, namun juga keberlangsungan hidup masyarakat. Menjaga pengetahuan adat tidak sebatas menjaga tradisi dan nilai-nilainya, namun juga keberlangsungan hidup saat ini serta generasi penerus masa mendatang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya