Pada tahun 2023, bulan Februari sampai September, telah terjadi 591 kasus kekerasan terhadap anak di Jakarta. Sementara itu, 781 kasus kekerasan oleh anak juga terjadi di daerah tersebut selama 2023.
Dalam situasi tersebut, muncul banyak pandangan. Satu di antaranya mengatakan bahwa anak yang menjadi pelaku kekerasan tidak boleh semata-mata dipandang sebagai pelaku. Hal pertama yang mesti dilakukan adalah melihat anak sebagai korban.
Pendapat itu menyebut kekerasan yang dilakukan oleh anak adalah efek sistemik dari lingkungan sosial, terutama dari lingkungan rumah atau keluarga.
Baca juga: Stereotipe Maskulinitas Buat Pria Korban Pelecehan Seksual Pilih Bungkam
Kepala Suku Dinas (Sudin) PPAPP Jakarta Barat Aswarni menyebut bahwa hukuman keras tidak boleh secara serampangan dikenakan kepada remaja di bawah 18 tahun. Melainkan harus ditelusuri situasi keluarganya, situasi lingkungan anak bersangkutan.
Anak yang terlibat tawuran juga tidak boleh langsung dikeluarkan dari sekolah, tetapi harus ditelusuri dulu situasi keluarganya.
Dikeluarkannya anak dari sekolah karena perilaku menyimpang, misalnya, terlibat tawuran, merupakan justifikasi yang timpang dan tidak memberi efek didik pada anak tersebut.
Peran kooperatif dari semua pihak, mulai dari sekolah, kepolisian, orang tua termasuk sistem sosial atau masyarakat dipercaya dapat menyelesaikan atau setidaknya menekan angka kekerasan yang dilakukan oleh anak.
Oleh sebab itu, Aswarni menekankan pentingnya komunikasi dan penyelesaian masalah antara pihak sekolah, orang tua, dan kepolisian. Menurutnya, kekerasan oleh anak adalah masalah yang kompleks dan harus dicabut di akarnya, bukan hanya dengan tindakan praktis semata.
Ketua Badan Pemasyarakatan (Bapas) Kelas 1 Jakarta Barat Sri Susilarti merinci beberapa alasan mendasar, mengapa anak terlibat dalam perilaku kekerasan.
Latar belakang itu didapatkan dari pengakuan anak-anak pelaku kekerasan, terutama tawuran, yang dibina di tempatnya.
Baca juga:
Pertama, anak-anak tersebut mudah terprovokasi ajakan tawuran di media sosial. Sebagian anak yang terlibat tawuran berawal dari provokasi teman sebaya mereka di dunia maya.
Provokasi tersebut biasanya berupa siaran langsung di media sosial dengan tujuan mengajak anak-anak yang lain untuk tawuran. Beberapa kelompok anak juga sampai membuat grup khusus untuk tawuran.
Hal ini perlu menjadi perhatian orang tua untuk benar-benar mengawasi perilaku dan pergaulan anak hingga memantau media sosial anak.
Pengawasan serupa juga sudah mulai diterapkan oleh kepolisian dengan mengawasi akun-akun yang biasanya berpotensi menyebarkan ajakan tawuran. Dengan penggunaan teknologi, aksi penggagalan tawuran oleh kepolisian juga dimudahkan oleh laporan warga melalui ponsel.
Temuan tersebut sejalan dengan pengakuan anak-anak yang dibina di Bapas Jakbar, bahwa banyak orang tua mereka yang tidak peduli dengan keseharian anak-anak. Misalnya, orang tua tidak menyempatkan waktu menjenguk mereka di Bapas.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya