Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Atasi Masalah, Giant Sea Wall Dinilai Munculkan Problem Baru

Kompas.com, 12 Januari 2024, 16:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Pembangunan giant sea wall atau tanggul laut raksasa di pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura) bukanlah solusi untuk menghadapi kenaikan muka air laut dan ancaman tenggelam.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan, giant sea wall tidak menyentuh akar masalah yang ada di Pantura.

"Giant sea wall adalah sesuatu yang tidak relevan dengan penyebab masalah," kata Afdillah saat dihubungi Kompas.com Jumat (12/1/2024).

Baca juga: Pra-desain Giant Sea Wall Pantura Jawa Butuh Rp 58 Triliun

Afdillah menuturkan, kenaikan permukaan muka air laut dan tenggelamnya kawasan pesisir Pantura setidaknya disebabkan oleh empat hal.

Pertama, alih fungsi lahan mangrove secara masif di kawasan Pantura untuk pembangunan termasuk tambak, industri, dan permukiman. Padahal, mangrove berfunsgi sebagai sabuk pengaman dari abrasi.

Kedua, kekeliruan pemanfaatan air tanah yang berlebih. Semakin banyak air tanah diambil, maka penurunan muka tanah juga semakin cepat.

Ketiga, krisis iklim yang menyebabkan permukaan air laut makin naik. Kondisi tersebut diperparah dengan hilangnya lahan mangrove.

Keempat, sedimentasi yang terbawa ke laut. Kegagalan pengelolaan di hulu membuat pegunungan tidak mampu menyerap air hujan, sehingga airnya langsung menuju ke laut membawa sedimentasi.

"Kalau berbagai faktor ini bertemu, jadilah banjir rob besar yang beberapa kali kita saksikan," ucap Afdillah.

Apabila berbagai masalah tersebut tidak diselesaikan dan pemerintah tetap berkeras membangun giant sea wall, maka proyek tersebut akan percuma.

Baca juga: Kala Prabowo Terlibat Pembahasan Proyek Giant Sea Wall...

Bikin masalah baru

Di samping tidak menyentuh akar masalah, pembangunan giant sea wall juga justru akan menimbulkan masalah baru.

Masalah pertama adalah lingkungan. Pembangunan tanggul air raksasa akan mengubah lansekap pesisir.

Saat pelajar yang tinggal di Tambak Lorok, Kota Semarang, Jawa Tengah menerjang banjir robKOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf Saat pelajar yang tinggal di Tambak Lorok, Kota Semarang, Jawa Tengah menerjang banjir rob

Konstruksi raksasa dari tanggul juga akan menjadi beban baru yang besar dan akan menambah kerusakan lingkungan serta mengancam biota-biota laut.

Pembangunan giant sea wall juga akan menghilangkan ruang serta hak hidup masyarakat pesisir, termasuk nelayan.

Mereka yang menggantungkan kehidupan dari laut akan kehilangan akses ke lautan.

"Kita paham hari ini Laut Jawa kondisnya dari sisi perikanan sudah overfishing, potensi ikan sudah bekurang habis," kata Afdillah.

Pencemaran yang terjadi di Pantura juga masif karena menjadi jalur sampah yang bermuara ke Laut Jawa.

"Laut Jawa seharusnya dipulihkan secara ekologis dengan cara yang ekologis juga, bukan dengan cara menambah beban pembangunan," jelas Afdillah.

Baca juga: Prabowo Dorong Pembangunan Giant Sea Wall, Ganjar: Memang Satu Guru dengan Saya

Uang tidak sedikit

Giant sea wall membutuhkan anggaran yang besar, baik dalam pembangunan maupun perawatannya. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk pembangunannya juga sangat lama.

Faktor perawatan sering luput dari perhatian, padahal dana yang dibutuhan tidak sedikit.

"Kita belajar bagaimana pembangunan tanggul di seluruh Indonesia. Setiap hari dihajar ombak, lama-lama tanggul rusak juga. Ini kan butuh perawatan," tutur Afdillah.

Menurutnya, giant sea wall bukanlah proyek sekali jadi. Melainkan akan memakan anggaran besar dari tahun ke tahun.

Di satu sisi, daripada membangun giant sea wall yang menelan biaya jumbo dengan jangka waktu yang lama, solusi yang dibutuhkan adalah membereskan masalah lingkungan terlebih dulu.

Baca juga: Atasi Meningkatnya Permukaan Laut, Prabowo Usulkan Pembangunan Rumah Panggung dan Giant Sea Wall di Pantura

Berbagai permasalahan harus diselesaikan seperti mengurus tata kelola di hulu, restorasi mangrove di pesisir, dan mengurangi aktivitas pembangunan di pesisir.

Menurutnya, masalah kenaikan muka air laut dan ancaman tenggelamnya kawasan pesisir harus dibenahi secara ekologis dan alamiah.

Pembenahan masalah secara ekologis memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Akan tetapi, hal tersebut lebih baik dilakukan karena menyentuh akar masalah dan dengan jangka waktu yang tidak lebih lama daripada membangun giant sea wall.

"Jadi bukan giant sea wall solusinya, mengembalikan mekanisme alamlah yang perlu dilakukan, baru akan kelihatan," kata Afdillah.

Baca juga: Bisakah Giant Sea Wall Dibangun Tanpa Pembebasan Lahan? Ini Kata Menteri ATR

Mengemuka

Masjid Wal Adhuna di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara yang perlahan tenggelam akibat banjir rob, diabadikan pada Kamis (9/12/2021).KOMPAS.COM/ IRA GITA Masjid Wal Adhuna di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara yang perlahan tenggelam akibat banjir rob, diabadikan pada Kamis (9/12/2021).

Diberitakan Kompas.com sebelumnya, wacana pembangunan giant sea wall sudah mulai mencuat sejak sekitar 10 tahun lalu.

Akan tetapi, hingga kini proyek jumbo tersebut belum juga terlaksana, salah satunya karena membutuhkan anggaran tidak sedikit.

Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bob Arthur Lombogia memperkirakan, pra-desain proyek giant sea wall membutuhkan anggaran sebesar Rp 58 triliun.

"Kalau perhitungan dari pre-design kurang lebih Rp 58 triliun, itu baru pre-design, jadi belum detail," ujar Bob usai Seminar Nasional yang digelar di Grand Ballroom Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Rabu (10/1/2024).

Pada kesempatan yang sama, Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 2 Prabowo Subianto mengutarakan urgensi realisasi proyek giant sea wall yang diklaim akan melindungi puluhan juta masyarakat pesisir.

Menurutnya, pembangunan giant sea wall perlu diwujudkan. Pembangunannya memerlukan waktu panjang yang diperkirakan bisa mencapai 40 tahun.

Baca juga: Prabowo Sebut Pemerintah Sepakat Bentuk Satgas Pembangunan Giant Sea Wall Pantura

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau