KOMPAS.com - Studi terbaru menunjukkan, adanya menunjukkan kaitan paparan polusi udara dalam jangka panjang dengan risiko depresi.
Depresi adalah kondisi kesehatan mental yang ditandai dengan munculnya perasaan sedih berkelanjutan dan kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya dinikmati.
Studi tersebut dilakukan oleh peneliti dari Harbin Medical University dan Cranfield University yang terbit di jurnal Environmental Science and Ecotechnology.
Baca juga: Kombinasi Polusi Udara dan Kebisingan Tingkatkan Risiko Stroke
Dalam studi tersebut, para peneliti melacak kondisi orang dewasa berusia di atas 45 tahun di China selama tujuh tahun, dengan fokus pada bagaimana enam polutan udara dapat memengaruhi kesehatan mental.
Hasil penelitian menunjukkan, sulfur dioksida merupakan polutan yang paling kuat hubungannya dengan peningkatan risiko depresi, sebagaimana dilansir Antara, Selasa (8/4/2025).
Karbon monoksida dan partikel halus PM2,5 juga berperan dalam meningkatkan kemungkinan timbulnya masalah kesehatan mental.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan, paparan campuran polutan ini dapat secara signifikan meningkatkan risiko depresi.
Baca juga: DLH: Polusi Udara di Jakarta Turun Selama Masa Lebaran 2025
Para peneliti menjelaskan, polusi udara dapat memengaruhi sistem saraf pusat dengan memicu stres oksidatif dan peradangan.
Efek ini dapat terjadi melalui berbagai jalur, termasuk aliran darah, saraf trigeminal, atau bahkan neuron reseptor penciuman.
Namun, para peneliti menyampaikan bahwa riset lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya memahami bagaimana polusi udara berkontribusi pada masalah kesehatan mental.
Menurut informasi yang disiarkan di laman resmi Kementerian Kesehatan RI, depresi adalah kelainan suasana hati yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang.
Baca juga: Polusi Udara Renggut 5,7 Juta Nyawa Setiap Tahunnya
Orang yang mengalami depresi mungkin merasa sedih, cemas, kehilangan minat terhadap aktivitas yang biasanya mereka sukai, merasa tidak berharga, atau memiliki pemikiran negatif yang berulang tentang diri sendiri, kehidupan, atau kematian.
Informasi yang disiarkan di laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan, depresi berbeda dengan perubahan suasana hati dan perasaan tentang kehidupan sehari-hari yang biasa.
Episode depresi berlangsung hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, setidaknya selama dua pekan.
Orang yang mengalami depresi mungkin mengalami gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan konsentrasi yang buruk.
Baca juga: Strategi DLH Jakarta Tangani Polusi Udara: Tiru Paris dan Bangkok
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya