Masih adanya kekosongan hukum acara terkait sengketa iklim seperti akses hukum untuk meminta pertanggungjawaban hukum atas tindakan atau kegiatan yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat.
Salah satu contohnya, kasus litigasi perubahan iklim oleh masyarakat Pulau Pari di Pengadilan Swiss yang mengunggat Pabrik Semen Holcim untuk mengurangi emisi karbondioksida.
Kekosongan hukum nasional untuk mewadahi proses litigasi perubahan iklim di Indonesia membuat masyarakat Pulau Pari mencari keadilan jauh sampai ke negeri Swiss.
Problematika ini yang tidak dijawab oleh para kandidat pada acara debat tersebut, menunjukkan kurangnya komitmen dalam mendukung upaya kolektif masyarakat internasional untuk mewujudkan keadilan iklim (climate justice).
Ketiga, masih langgengnya industrilisasi batu bara di Indonesia disebabkan kebijakan hukum yang masih mendukung produksi bahan bakar fosil tersebut.
Contohnya pemberian iuran atau royalti 0 persen pada perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi sebagaimana diatur dalam UU Minerba Perubahan dan kembali ditegaskan dalam Perppu Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU 6/2023.
Ketentuan tersebut kontraproduktif dengan arah kebijakan transisi energi melalui energi baru terbarukan (EBT) sebagai gerakan masyarakat dunia untuk mencapai target net zero emissions sesuai dengan Perjanjian Paris.
Tidak adanya pembahasan mengenai produk hukum ‘tidak ramah lingkungan’ ini, mungkin disebabkan keberpihakan para kandidat capres/cawapres yang cenderung melindungi oligarki bisnis batu bara yang berada di belakang pencalonan mereka.
Dukungan modal finansial (cukong) mengorbankan gagasan transisi energi untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan manusia.
Kehadiran hukum lingkungan sebagai instrumen untuk mengelola dan melindungi lingkungan hidup guna menjamin keberlanjutan untuk generasi ke generasi merupakan aspek yang sangat krusial.
Garrett Hardin (1968) dalam literaturnya “Tragedy of the Commons” mengambarkan keadaan di mana populasi manusia yang terus bertambah serta keserakahan manusia dalam mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam yang sebenarnya memiliki keterbatasan, akan menghadirkan degradasi lingkungan. Ujungnya bencana umat manusia (tragedy of the commons).
Hardin memberikan solusi salah satunya harus ada kesepakatan bersama melalui kekuatan institutional seperti otoritas aturan negara untuk mengatasi keserakahan manusia terhadap sumber daya lingkungan yang terbatas.
Oleh sebab itu, absennya beberapa isu hukum lingkungan dalam debat cawapres melahirkan skeptisisme masyarakat dan pemerhati lingkungan terhadap komitmen perwujudan keadilan lingkungan oleh para calon top eksekutif republik.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya