ADA pertanyaan dan diskusi yang menarik dalam debat keempat Capres-Cawapres 2024 pada 21 Januari 2024, yang dilontarkan oleh panelis tentang pertambangan ilegal (illegal mining).
Cawapres Muhaimin Iskandar menanggapi bahwa data Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) terdapat 2500 unit pertambangan ilegal.
Sementara, Cawapres Gibran Rakabuming Raka menanggapi bahwa pertambangan tersebut izinnya (IUP/izin usaha pertambangan) dicabut.
Tentu kegiatan pertambangan ilegal dapat dipastikan dilakukan di dalam kawasan hutan, apakah di dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung, bahkan hutan konservasi.
Yang jelas kegiatan pertambangan ilegal dalam kawasan hutan tidak berizin (tidak memiliki IUP sebagaimana yang disebut Gibran).
Kegiatan ekonomi secara ilegal di dalam kawasan hutan terjadi sejak era era pemerintahan Presiden Soeharto (1967-1998), hanya skalanya tidak semasif dan seluas pada era reformasi sekarang (1999-2024) yang membuka otonomi daerah seluas-luasnya sejak diundangkan undang-undang (UU) No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Apa saja sebenarnya kegiatan ekonomi ilegal di dalam kawasan hutan selain pembalakan liar (illegal logging) yang merugikan pendapatan negara (devisa negara) dalam jumlah yang cukup besar? Bagaimana kronologi penyelesaiannya setelah adanya era reformasi?
Apa saja regulasi yang disiapkan oleh pemerintah untuk menyelesiakan kegiatan ekonomi dalam kawasan hutan yang ilegal? Dan berapa besaran kerugian negara yang diderita selama ini?
Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan. Negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.
Sayangnya, pengaturan dan pengurusan sumber daya (SDA) alam hutan yang kewenangannya begitu luas (secara de jure 120,3 juta ha atau setara lebih dari 60 persen luas daratan) dan beragam jenis kegiatannya tidak diimbangi dengan SDM, regulasi.
Selain itu, peralatan dan pendanaan yang tidak/kurang memadai sehingga terkesan ala kadar pelaksanaannya di lapangan.
Sejak terbitnya UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 yang mengedepankan prinsip otnomi daerah seluas-luasnya, kewenangan kehutanan banyak dibagi ke pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) melalui urusan pemerintahan konkuren.
Daerah kabupaten yang mempunyai potensi SDA hutan besar, ramai-ramai membentuk dinas kehutanan untuk menjaring pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) dan mengelola dana bagi hasil (DBH) dari sektor kehutanan.
Namun, euforia otonomi daerah banyak ditafisirkan salah oleh para bupati yang wilayahnya mempunyai SDA hutan yang besar.
Kegiatan ekonomi ilegal dalam kawasan hutan yang dilakukan secara masif dan meluas sejak era otonomi daerah selain pembalakan liar adalah kegiatan pertambangan liar dan perkebunan ilegal khususnya perkebunan sawit.
Sementara itu, perkebunan sawit ilegal menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini terdapat 3,1 -3,2 juta hektare sawit di kawasan hutan.
Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta hektare. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Pemerintah pernah menertibkan pertambangan dan perkebunan ilegal sejak 2010. Penertiban ini memunculkan kegaduhan, terutama dari kepala daerah.
Mereka melayangkan surat kepada presiden bahwa investasi perkebunan dan pertambahan itu bernilai triliunan rupiah.
Lima bupati dan seorang pengusaha kebun sawit di Kalimantan Tengah, bahkan memohon uji materi Undang-Undang Kehutanan kepada Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah mengabulkan tuntutan itu dan memerintahkan KLHK tidak sembarangan dalam menetapkan kawasan hutan.
Padahal, perizinannya begitu kacau balau. Ada perusahaan yang memiliki izin perkebunan dari pemerintah daerah juga mengantongi izin hak guna usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal tak ada pelepasan kawasan hutan untuk arealnya.
Di kebun sawit rakyat, masalahnya lebih rumit dan kompleks lagi. Selain perambahan, jumlahnya banyak dan luasnya kecil-kecil, 5-25 hektare. Karena ilegal, baik sawit rakyat dan sawit perusahaan tentu tak membayar pajak.
Pemerintah coba menyelesaikan sengketa kebun sawit di kawasan hutan melalui regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 60/2012 yang diperbarui PP No. 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Rumitnya prosedur mendapat izin membuat penyelesaian itu ditanggapi dingin pengusaha. Salah satu kerumitan adalah kewajiban menyediakan lahan pengganti dalam tukar-menukar kawasan hutan, jika izin perkebunannya berada di kawasan hutan produksi.
Mencari lahan pengganti tidak mudah. Apalagi mendapatkan lahan yang luasnya setara dan clean and clear secara hukum. Kalaupun ada, prosedur penataan batas yang dilewati juga tidak mudah.
Secara normatif, penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan secara luas dan masif seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit dimungkinkan dan diizinkan dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 yang diperbaharui dalam UU Cipta Kerja no. 11/2020 bidang Kehutanan.
Secara regulasi, dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan pasal 38 ayat (1) menyebut bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Kegiatan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, kegiatan pembuatan jalan serta kepentingan pertahanan keamanan.
Mekanisme yang ditempuh dalam membangun jalan dalam kawasan hutan lindung adalah melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sedangkan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan dengan luasan yang cukup besar seperti perkebunan sawit dan perkebunan tebu ditempuh dengan jalur alih fungsi lahan hutan menjadi hak guna usaha (HGU) dengan mekanisme pelepasan kawasan hutan.
Payung hukum secara legal yang digunakan kawasan hutan untuk pertambangan dan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit adalah UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan dan peraturan pemerintah (PP) No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan yang menjadi domain dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sementara apabila kegiatan pertambangan legal telah mengantongi persetujuan/izin penggunaan kawasan hutan dari KLHK dan menyelesaikan segala kewajibannya, maka izin eksploitasinya diatur oleh UU No. 4/2009 yang direvisi menjadi UU No. 3/2020 tentang mineral dan batu bara (Minerba) dan menjadi domaian Kementerian ESDM.
Untuk kegiatan perkebunan besar seperti sawit dan tebu, apabila KLHK telah menerbitkan sertifikat pelepasan kawasan hutan menjadi hak guna usaha (HGU), setelah korporasi memenuhi kewajibannya, maka pengaturan selanjutnya akan menjadi domain Kementerian ATR/BPN sebagaimana diatur dalam UU No 5/1960 tentang pokok-pokok agraria.
Apabila telah ditanami dengan komoditas perkebunan nantinya hasilnya juga akan diatur dengan UU No. 39/2014 tentang perkebunan yang juga menjadi domain Kementerian Pertanian (Kementan).
Sepanjang lahan kawasan hutan masih menjadi domain KLHK, maka kegiatan ekonomi legal khususnya pertambangan dan perkebunan besar untuk selanjutnya hak dan kewajibannya diatur dalam PP No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, khususnya dalam paragraf 2 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan dalam pasal 58- 70 yang membahas tentang pelepasan kawasan hutan dan bagian kedua tentang tata cara penggunaan kawasan hutan dalam pasal 92 tentang kegiatan pertambangan.
Pertambangan dalam kawasan hutan dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi maupun hutan lindung.
Pertambangan dalam hutan produksi dapat dilakukan dengan cara: a) penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan/atau; b) penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah.
Sementara itu, pertambangan dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: a) turunnya permukaan tanah; b) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan/atau c) terjadinya kerusakan akuifer air tanah.
Penambangan bawah tanah pada hutan lindung dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan termasuk pertambangan mempunyai kewajiban: a) membayar PNBP penggunaan kawasan hutan dan PNBP kompensasi bagi pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang kurang luas kecukupan kawasan hutannya; b) mengganti biaya investasi kepada pengelola/pemegang pengelolaan perizinan berusaha pemanfaatan hutan; c) melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan yang sudah tidak digunakan; d) melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Dalam UU No 4/2009 yang diperbaharui No 3/2020 tentang minerba dalam pasal 128 disebutkan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.
Pendapatan negara adalah penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak (PNBP). Penerimaan pajak yang dimaksud adalah pajak-pajak yang menjadi kewenangan pemerintah dan bea masuk dan cukai, sementara PNBP berupa iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi.
Sedangkan pendapatan daerah berupa pajak daerah, restribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif.
Ketentuan tersebut dikecualikan pada provinsi yang tidak tersedia lagi kawasan HPK yang tidak produktif.
Pelepasan kawasan hutan pada kawasan hutan HPK dilakukan oleh hasil penelitian Tim Terpadu dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan dilengkapi kajian lingkungan hidup strategis yang disusun oleh pemrakarsa kegiatan.
Pemegang persetujuan pelepasan kawasan hutan dikenakan PNBP pelepasan kawasan hutan. Berdasarkan bukti pembayaran PNBP pelepasan kawasan hutan dan berita acara tata batas dan peta hasil tata batas Menteri menerbitkan keputusan tentang penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan yang dimohon.
Menteri KLHK berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian melakukan evaluasi dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhadap kawasan hutan yang telah dilepaskan.
Berdasarkan keputusan Menteri KLHK tentang penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan, status lahan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Apabila HGU dari pelepasan kawasan hutan telah menjadi kebun kelapa sawit, maka pendapatan negara yang bisa dipungut adalah PNBP proses penerbitan HGU yang membutuhkan pelayanan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah (Tu) dan pelayanan pemeriksaan tanah (Tpb) oleh Panitia dan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Dapat dibayangkan berapa kerugian negara yang diakibatkan oleh adanya 2500 unit tambang ilegal dan perkebunan sawit ilegal seluas 3,1-3,2 juta ha dari kawasan hutan.
Menurut hitung-hitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dari luas kebun sawit ilegal tersebut negara dirugikan sebesar lebih kurang lebih Rp 50 trilliun, yang dihitung berdasarkan pungutan provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR) dan PNBP persetujuan penggunaan kawasan hutan.
Belum termasuk pungutan PNBP pengukuran dan pemetaan HGU serta PBB HGU yang menjadi domain Kementerian ATR/BPN dan Kementan.
Sebagai ilustrasi saja, kasus mantan bupati Indragiri Hulu (Inhu) provinsi Riau periode 1999-2008, Raja Thamsir Rahman (RTR) menjadi contoh nyata.
Hanya berbekal izin prinsip yang diterbitkannya, Bupati RTR berani menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan hutan di Indragiri Hulu seluas 37.095 hektar.
Padahal izin usaha pekebunan di kawasan hutan harus dilengkapi dengan izin pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan Menteri Kehutanan dan Izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan Menteri Agraria/Tata Ruang.
Tanpa pelepasan kawasan dan HGU, mustahil izin usaha perkebunan di kawasan hutan dapat dilakukan.
Faktanya, PT Duta Palma Group milik Surya Darmadi dapat mengusahakan kebun sawit secara tidak sah sampai kasus ini terungkap pada Juli 2022 oleh Kejaksaan Agung.
Kerugian negara akibat aktivitas kebun sawit ilegal tersebut mencapai Rp 78 trilliun. Belum lagi kalau dihitung adanya 2500 unit tambang ilegal di dalam kawasan hutan, nilai kerugian negara akan lebih fantastis lagi besarannya.
Benang kusut semacam ini harus segera diurai satu persatu agar pengelolaan sumberdaya alam (SDA) lebih baik lagi dan dapat bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD 45 Pasal 33 Bumi air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasi negara dan dimanfaatkan sebesar-bsarnya untuk kemakmuran rakyat. Semoga.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya