KOMPAS.com - Hasil studi dari Yayasan Indonesia CERAH dan Institute for Policy and Development (Poldev) Unitrend, Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan bahwa pensiun dini PLTU batu bara akan memberikan lebih banyak dampak positif bagi kesehatan, lingkungan, dan ekonomi kelompok masyarakat miskin di wilayah terkait.
Sebagai informasi, Peraturan Presiden (PP) Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik menyebut pemensiunan dini ditargetkan selesai tahun 2050.
Indonesia pun telah berpartisipasi dalam mempercepat dan memperkuat komitmen penurunan karbon melalui mekanisme pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Baca juga: Pengamat: Belum Ada Peta Jalan Komprehensif Pensiun Dini PLTU
Dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), pensiun dini PLTU dijadikan sebagai salah satu cara Indonesia untuk bertransisi energi.
Saat ini, pemerintah telah menetapkan sejumlah PLTU yang masuk dalam daftar pemensiunan dini, di antaranya PLTU Pacitan, Pelabuhan Ratu, dan Cirebon-1.
Dengan demikian, studi persepsi masyarakat sekitar wilayah PLTU memiliki implikasi yang
signifikan dalam mendukung keberlangsungan pemensiunan dini PLTU.
Dari studi tersebut, diketahui bahwa 85 persen penduduk yang tinggal di daerah dekat PLTU batu bara di tiga wilayah, yaitu PLTU Cirebon-1, PLTU Pacitan, dan PLTU Pelabuhan Ratu, tidak menggantungkan pendapatannya dari aktivitas PLTU batu bara, baik secara langsung atau tidak langsung.
Studi ini juga menemukan bahwa kesehatan warga dengan rentang usia 14-44 tahun terganggu sejak ketiga PLTU tersebut beroperasi.
Adapun responden yang dikumpulkan dari tiga wilayah tersebut berjumlah 299 responden. Wilayah PLTU Pacitan 101 responden, Pelabuhan Ratu 103 responden, dan Cirebon-1 berjumlah 95 responden.
Faktor lainnya, limbah fly ash yang dihasilkan oleh PLTU Cirebon-1 merupakan batu bara berkapasitas penuh (100 persen coal) diketahui memicu banyak keluhan.
Baca juga: Pensiun Dini PLTU Berdampak Positif Bila Diganti Energi Terbarukan
Keluhan ini juga muncul dari PLTU yang menerapkan skema co-firing dengan biomassa seperti PLTU Pelabuhan Ratu dan Pacitan.
Peneliti Poldev Erythrina Orie, mengatakan bahwa dalam praktiknya, partisipasi masyarakat lokal dalam transisi energi masih sangat kurang.
“Hanya 1 dari 5 orang masyarakat sekitar PLTU yang terlibat secara aktif dengan komunitas lokal dalam agenda transisi energi. Inkonsistensi kebijakan pemerintah membuat masyarakat ragu untuk bertindak proaktif untuk transisi energi,” ujar Orie.
Orie juga menyampaikan, sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar PLTU tidak dapat menyuarakan pendapatnya dengan bebas karena kekhawatiran faktor ancaman dan fenomena premanisme.
"Hal ini secara tidak langsung merubah tatanan sosio-kultural terhadap aksi kolektif dan partisipatif," imbuhnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya