Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 6 Februari 2024, 18:23 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Momen pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang seharusnya adil dan netral, dinilai telah dicederai aksi penguasa yang menyebabkan krisis demokrasi dan krisis ekologi di Tanah Air.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional,Zenzi Suhadi menganggap dinamika politik pelaksanaan Pemilu 2024 sudah mengarah kepada kemunduran demokrasi.

Oleh sebab itu, ia meminta masyarakat menggunakan prinsip pilah, pilih, dan pulih sebelum menentukan calon pemimpin di Pemilu 2024.

“(Ini) menyikapi dinamika situasi politik Pemilu Serentak 2024 yang mengarah kepada kemunduran demokrasi, penyempitan ruang-ruang sipil, pembangkangan konstitusi, kelanggengan praktik pengerukan sumber daya alam yang ugal-ugalan," ujar Zenzi dalam pidatonya pada acara Seruan Keprihatinan Bangsa, di Jakarta, Selasa (6/2/2024).

Baca juga: Janji Prabowo Tambah 300 FK dan Ketimpangan Distribusi Dokter

Seruan masyarakat untuk menggunakan prinsip pilah, pilih dan pulih di Pemilu 2024, muncul setelah memerhatikan kinerja pemerintah yang mencederai konstitusi.

“Memperhatikan kinerja pemerintah yang semakin jauh dan amanah pasal 33 Konstitusi serta pemilu sebagai momentum rakyat memberikan amanahnya,” imbuhnya.

Sebelum seruan dibacakan, Zenzi mengenang momen jelang 2014 lalu, di mana salah seorang kandidat capres mendatangi kantor Walhi.

“Bertanya kepada Walhi, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran bagi rakyat? Untuk menyelamatkan lingkungan? Orang itu namanya Jokowi,” kenang Zenzi.

Ia menyebut, 14 tahun lalu saat sosok tersebut datang, dirinya mendapat secercah harapan bahwa keadilan ekologis dapat terbentuk. Namun hal itu tidak kunjung terjadi.

“Tapi saat ini, 9 tahun kemudian, kami melihat keadilan ekologi itu akan semakin jauh dari rakyat. Karena orang yang sama, dia bukan hanya menjauhkan jarak negara dengan rakyat, tapi dia menghapuskan makna keadilan itu sendiri,” tambahnya.

Seruan Walhi untuk Pemilu 2024

Orang-orang yang bersama sosok tersebut, kata Zenzi, rupanya berkongsi mencederai demokrasi, mencederai kebeneran, merampas sumber kemakmuran rakyat, dan menghancurkan lingkungan.

Baca juga: Dekarbonisasi Ciptakan 11 Juta Lapangan Kerja di Indonesia

Berangkat dari permasalahan yang muncul menjelang Pemilu 2024 tersebut, Walhi di 28 provinsi se-Indonesia bersama Eksekutif Nasional, hari ini serempak menyampaikan sikap agar masyarakat sipil bisa mengambil langkah tepat.

Adapun isi seruan Walhi terhadap Pemilu Serentak 2024 adalah sebagai berikut:

Bahwa Walhi menyerukan terhadap seluruh elemen Walhi bersama rakyat, untuk mengamalkan prinsip Pilah, Pilih-Pulih terhadap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan anggota legislatif.

Prinsip Pilah

1. Memilah berdasarkan rekam jejak kejahatan konstitusi, kejahatan hak asasi manusia (HAM), kejahatan lingkungan, dan pelanggaran etik dengan menggunakan nilai dan prinsip Walhi sebagai panduan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
AI Jadi Ancaman Jutaan Pekerjaan di Asia, Ini Peringatan PBB
AI Jadi Ancaman Jutaan Pekerjaan di Asia, Ini Peringatan PBB
Pemerintah
Asia Pasifik Diprediksi Makin Panas, Ancaman untuk Kesehatan dan Infrastruktur
Asia Pasifik Diprediksi Makin Panas, Ancaman untuk Kesehatan dan Infrastruktur
Pemerintah
Mikroplastik Cemari Pakan Ternak, Bisa Masuk ke Produk Susu dan Daging
Mikroplastik Cemari Pakan Ternak, Bisa Masuk ke Produk Susu dan Daging
LSM/Figur
Krisis Iklim Perparah Bencana di Asia Tenggara, Ketergantungan Energi Fosil Harus Dihentikan
Krisis Iklim Perparah Bencana di Asia Tenggara, Ketergantungan Energi Fosil Harus Dihentikan
LSM/Figur
Ada Perusahaan Sawit Diduga Beroperasi di Area Hutan dan Tak Lolos Verifikasi, Sertifikasi Dipertanyakan
Ada Perusahaan Sawit Diduga Beroperasi di Area Hutan dan Tak Lolos Verifikasi, Sertifikasi Dipertanyakan
Swasta
Emisi Kebakaran Hutan Global Jauh Lebih Tinggi dari Prediksi
Emisi Kebakaran Hutan Global Jauh Lebih Tinggi dari Prediksi
LSM/Figur
Indonesia Berpotensi Manfaatkan Panas Bumi Generasi Terbaru, Bisa Penuhi 90 Persen Kebutuhan Industri
Indonesia Berpotensi Manfaatkan Panas Bumi Generasi Terbaru, Bisa Penuhi 90 Persen Kebutuhan Industri
LSM/Figur
Banjir Ancam Kota Pesisir di Dunia, Risikonya Terus Meningkat
Banjir Ancam Kota Pesisir di Dunia, Risikonya Terus Meningkat
Pemerintah
Lubang Ozon di Antartika Menyusut, Tanda Bumi Mulai Pulih?
Lubang Ozon di Antartika Menyusut, Tanda Bumi Mulai Pulih?
Pemerintah
Tanah, Tangan, dan Tutur: Model Komunikasi Budaya Lokal Melawan Komodifikasi
Tanah, Tangan, dan Tutur: Model Komunikasi Budaya Lokal Melawan Komodifikasi
LSM/Figur
Penelitian Ungkap Kaitan Terumbu Karang dan Kenaikan Suhu Bumi
Penelitian Ungkap Kaitan Terumbu Karang dan Kenaikan Suhu Bumi
Swasta
Ekoteologi Didorong jadi Gerakan Pendidikan Nasional
Ekoteologi Didorong jadi Gerakan Pendidikan Nasional
Pemerintah
Lebih dari 70 Jenis Hiu Kini Dilindungi dan Diperketat Perdagangannya
Lebih dari 70 Jenis Hiu Kini Dilindungi dan Diperketat Perdagangannya
Pemerintah
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau