KOMPAS.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut Indonesia memiliki 20 cekungan migas yang berproduksi dan mempunyai potensi penyimpanan karbon yang sangat menjanjikan.
Hal itu berdasarkan hasil penelitian tim dari Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi Lemigas Kementerian ESDM.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Tutuka Ariadji mengatakan, dari 20 cekungan tersebut terdapat potensi besar penyimpanan karbon di saline aquifer dan depleted oil & gas reservoirs hingga mencapai 577 giga ton.
"Dari penelitian tim Lemigas Ditjen Migas, didapatkan data potensi besar penyimpanan karbon saline aquifer sebesar 572,77 giga ton, kemudian potensi depleted oil & gas reservoirs sebesar 4.85 giga ton," ujarnya pada acara puncak Bulan K3 Nasional Subsektor Migas di Kantor LEMIGAS Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Angka tersebut, ia menambahkan, masih dalam rentang penelitian yang disampaikan beberapa lembaga lain.
Baca juga: Potensi Penyimpanan Karbon di Indonesia Lebih dari 570 Gigaton
Tutuka mengatakan, data yang didapat lebih besar apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Rystad Energy dengan potensi sebesar 400 giga ton. Namun, masih lebih kecil apabila dibandingkan dengan perhitungan lembaga lainnya.
"Tentu data ini akan berkembang dan akan menjadi perhatian kami untuk terus memperbaharui data terkait potensi penyimpanan karbon," imbuhnya.
Menurut Tutuka, potensi penyimpanan karbon di Indonesia masih sangat besar, mengingat saat ini di Indonesia memiliki 128 cekungan migas. Sementara yang sudah diteliti baru 20 cekungan yang berproduksi.
"Dari 128 cekungan itu, masih ada 27 cekungan discovery dan selebihnya prospektif yang belum dieksplorasi," tutur Tutuka.
Baca juga: Kebocoran Pengangkutan Karbon Lintas Negara Perlu Jadi Kekhawatiran Bersama
Adapun potensi penyimpanan karbon saline aquifer berada pada cekungan sebagai berikut:
1. Cekungan North East Java sebesar 100,83 giga ton;
2. Tarakan 91,92 giga ton;
3. North Sumatera 53,34 giga ton;
4. Makassar Strait 50,7 giga ton;
5. Central Sumatera 43,54 giga ton;
6. Kutai 43 giga ton;
7. Banggai 40,31 giga ton;
8. South Sumatera 39,69 giga ton;
9. Kendeng 30,64 giga ton;
10. West Natuna 13,15 giga ton;
11. Barito 12,05 giga ton;
12. Seram 11,58 giga ton;
13. Pasir 10,36 giga ton;
14. Salawati 8,75 giga ton;
15. West Java 7,22 giga ton;
16. Sunda Asri 6,52 giga ton;
17. Sengkang 4,31 giga ton;
18. Bintuni 2,13 giga ton;
19. North Serayu 1,55 giga ton; dan
20. Bawean 1,16 giga ton.
Sebagai informasi, dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, penyimpanan karbon cross border (lintas negara) mungkin terjadi.
Tutuka menjelaskan, kapasitas domestik untuk penyimpanan karbon tetap menjadi prioritas utama, dengan besaran 70 persen dari kapasitas penyimpanan karbon nasional.
"Sedangkan kapasitas sisanya, atau 30 persen diperuntukkan untuk karbon cross border," ujar dia.
Namun, dalam skema karbon cross border, harus ada syarat-syarat yang dipenuhi.
Pertama adalah adanya MoU antar negara, atau bilateral dulu, baru ada turunannya kerja sama B to B (Business to Business).
"Kemudian diatur pula emitter penghasil carbon yang akan menyimpan emisinya di Indonesia ini harus mempunyai investasi atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya