Namun, dari komitmen pendanaan sekitar Rp 310 triliun, kemungkinan mayoritas pendanaannya akan berupa utang. Hal ini berkaca dari program sejenis di Afrika di mana dana hibah hanya sekitar 3 persen.
Baca juga: Karyawati PLTU Paiton Olah Minyak Jelantah Jadi Lilin dan Sabun
“Model pembiayaan aktual saat ini, di mana sebagian besarnya berupa utang, sebenarnya tidak ideal dan kurang adil bagi negara-negara berkembang,” kata Direktur Program Transisi Bersih, Harryadin Mahardika.
Laporan Transisi Bersih juga menyebutkan salah satu standar utama yang harus dipenuhi pada penutupan dini PLTU adalah “koherensi”. Artinya, kebijakan satu dengan yang lainnya tidak saling mengganggu atau menafikan.
Dalam konteks transisi energi, salah satu bentuk kebijakan tidak koheren yang cukup ekstrem adalah penutupan dini PLTU dan pembangunan PLTU baru. Dua kebijakan ini bertolak belakang dan memiliki efek yang saling meniadakan.
Menurut Abdurrahman, program penutupan dini PLTU hanya akan efektif jika tidak ada PLTU baru yang sedang dan akan dibangun di seluruh Indonesia, di semua industri.
“Jika masih ada PLTU baru yang akan dibangun maka program penutupan dini menjadi sia-sia. Ini sama dengan menguras air kolam sambil memasukkan air baru ke dalam kolam. Semua energi dan usaha akan menjadi sia-sia,” pungkas Abdurrahman.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya