Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Transisi Energi Hadapi Tantangan, Pemerintah Dinilai Ragu Tinggalkan Bahan Bakar Fosil

Kompas.com - 01/03/2024, 19:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Danur Lambang Pristiandaru

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Organisasi non-pemerintah di bidang pemantauan hutan, Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut pengurangan emisi dari sektor energi atau transisi energi menuju energi bersih merupakan suatu keharusan yang mendesak bagi Indonesia.

Namun saat ini, arah navigasi dinilai masih belum jelas karena masih tingginya ketergantungan terhadap batu bara, bahan bakar campuran atau cofiring, dan bioenergi yang berkontribusi pada deforestasi.

"Hal ini memicu kekhawatiran atas ketidakpastian mengenai upaya pengurangan emisi dan dampak negatif terhadap lingkungan," ujar Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI Anggi Putra Prayoga dalam keterangan tertulis, Jumat (1/3/2024). 

Ia mengatakan, upaya pengurangan emisi dengan membangun sistem ketahanan energi nasional sejatinya menjadi pertaruhan dalam menyelamatkan sumber daya alam, lingkungan, dan kehidupan masyarakat. 

Di satu sisi, kebutuhan energi terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi.

Di sisi lain, penggunaan sumber daya energi fosil yang selama ini menjadi sumber energi utama memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan iklim.

Baca juga: Meneropong Keadilan Transisi Energi PLTS Atap

Energi fosil rusak lingkungan

Anggi mengatakan, penggunaan energi fosil telah merusak hutan dan alam Indonesia. Pencemaran air, laut, udara, sungai, dan tanah akibat eksploitasi besar-besaran disebut merupakan dampak nyata dari beroperasinya izin pertambangan.

Hal ini, kata dia, mendorong urgensi transisi energi menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan yang tidak merusak hutan dan lingkungan, yakni beralih ke energi terbarukan.

"Upaya transisi energi ini menjadi semakin penting mengingat kondisi cadangan sumber daya fosil di Indonesia yang semakin menipis," tuturnya.

Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak bumi nasional pada 2020 diperkirakan hanya akan bertahan sekitar 9,5 tahun ke depan.

Baca juga: Keuntungan Hidrogen di Indonesia, Jadi Alternatif Energi Murah

Indonesia, yang menempati peringkat ke-19 dalam cadangan minyak dan gas bumi secara global, dihadapkan pada tugas berat untuk mempersiapkan masa depan energinya.

Selain itu, meski Indonesia punya cadangan batu bara yang melimpah, sumber daya alam tersebut diperkirakan dapat bertahan 62,4 tahun dengan tingkat produksi saat ini.

Namun, penggunaan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi, terutama untuk pembangkit listrik, hanya akan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim.

"Hal tersebut menunjukan bahwa cadangan energi fosil Indonesia tidak banyak dan bukan solusi menghadapi perubahan iklim," kata dia. 

Anggi mengatakan, dengan target pengurangan sebesar 385 juta ton karbon dioksida, langkah-langkah konkret dan strategis harus segera diambil untuk mewujudkan perubahan ini.

Baca juga: SMI Gandeng Eksportir Kanada Akselerasi Transisi Energi

Sikap pemerintah

Kendati sudah mendesak, FWI menilai Indonesia ragu-ragu untuk mengurangi emisi dari sektor energi dengan meninggalkan energi fosil terutama batu bara.

"Komitmennya dipertanyakan dalam bertransisi energi, dengan berencana merevisi target bauran energi baru terbarukan (EBT)," ujar Anggi.

Target yang seharusnya mencapai 23 persen pada 2025, akan direvisi menjadi 17-19 persen. Perubahan ini tercakup dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). 

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menggagas salah satu model bisnis yang dipertimbangkan yakni penangkap dan penyimpan karbon atau carbon capture and ctorage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS).

Baca juga: Mengejar 100 Persen Energi Terbarukan di Nusa Penida Bali

Model bisnis ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan produksi migas dengan menangkap karbon dioksida dan menyimpannya di dalam sumur bawah tanah atau memanfaatkannya untuk keperluan lain.

Dengan menerapkan CCS dan CCUS, diharapkan dapat mengurangi dampak lingkungan dari industri migas serta meningkatkan keberlanjutan sektor ini.

Komisi VII DPR RI saat ini juga tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) minyak dan gas (migas) untuk mendukung peningkatan produksi migas dengan memperhatikan aspek keberlanjutan.

Sugeng Suparwoto menjelaskan, Komisi VII terbuka dengan berbagai masukan, terutama soal RUU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) yang kemungkinan besar akan disahkan dalam beberapa kali sidang.

“Kami terbuka dan koalisi ini bisa hearing di gedung DPR RI," ujar tegas Sugeng.

 Baca juga: SMI dan Tony Blair Institute Bentuk Kerangka Kerja Sosio-ekonomi Demi Transisi Energi Berkeadilan

Ilustrasi perubahan iklim.
SHUTTERSTOCK/SEPP PHOTOGRAPHY Ilustrasi perubahan iklim.

Keraguan dalam komitmen transisi energi

Namun, FWI mempertanyakan arah navigasi transisi energi yang dinahkodai Komisi VII DPR RI karena dinilai belum jelas. Pun terkait masih dimasukkannya bioenergi ke dalam golongan energi terbarukan di dalam draft RUU EBET.

"Ada keraguan bahwa dalam pengambilan keputusan bioenergi sebagai energi terbarukan, DPR selaku pengusul RUU ini sudah cukup informasi atau tidak, seperti dalam mengukur dampak deforestasi yang ditimbulkan," ujar Anggi. 

Bioenergi dari turunan komoditas sawit atau dari biomassa kayu dalam bentuk wood pellet, kata dia, sangat erat kaitannya dengan hutan dan lahan.

"Komodifikasi sumber daya alam oleh konsesi menuntut tingginya permintaan akan lahan, justru akan menjadi driver deforestasi," imbuhnya. 

Baca juga: SMI dan Tony Blair Institute Bentuk Kerangka Kerja Sosio-ekonomi Demi Transisi Energi Berkeadilan

Catatan FWI pada 2023, biomassa kayu yang ditargetkan memenuhi kebutuhan cofiring di 52 PLTU akan dipenuhi melalui pembangunan hutan tanaman energi (HTE). Saat ini, sudah ada 31 konsesi HTE yang sudah merusak hutan Indonesia 55.000 hektare.

Jika kebijakan cofiring dan penggunaan biomassa kayu sebagai strategi bauran energi dan upaya pengurangan emisi dilanjutkan, maka justru diproyeksi ada 4,65 juta hektare hutan alam yang akan terdeforestasi.

“Bioenergi merupakan bagian dari bisnis yang justru akan menjadi pendorong deforestasi baru dari transisi energi. Transisi energi seharusnya meninggalkan energi fosil, proyek cofiring, dan komodifikasi sumber daya alam," tutur Anggi.

Baca juga: Indonesia Punya Stasiun Pengisian Hidrogen Pertama, Dipasok dari Energi Hijau

Saran

Pada intinya, penggunaan energi fosil, terutama batu bara, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi dan berkontribusi pada perubahan iklim. Deforestasi akibat bioenergi juga menjadi masalah serius.

Namun, pemerintah terlihat ragu-ragu dalam meninggalkan energi fosil. Rencana revisi target bauran energi terbarukan dan penggunaan batubara dan cofiring menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya berkomitmen pada transisi energi.

"Pemerintah harus fokus pada kebijakan yang mendukung transisi energi dan tidak merugikan lingkungan. Arah navigasi transisi energi harus jelas dan terukur, dengan target yang ambisius namun realistis," ujar Anggi. 

Pemerintah, kata dia, juga harus berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menghentikan penggunaan batu bara dan cofiring, serta mendorong pengembangan dan penggunaan energi terbarukan yang berkelanjutan.

"Akses energi yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat juga harus dijamin," ungkapnya.

Adapun masyarakat sipil harus terus mengawasi dan mendorong pemerintah untuk berkomitmen pada transisi energi yang adil dan berkelanjutan. 

Baca juga: Dukung Industri Padat Energi Bertransisi, Jerman Gelontorkan Miliaran Euro

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com