KOMPAS.com - Ekosistem akuatik seperti danau turut berkonribusi terhadap pelepasan metana ke atmosfer.
Untuk diketahui, metana merupakan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca (GRK) dunia, nomor dua terbesar setelah karbon dioksida.
Metana juga bertanggung jawab atas sekitar 30 persen pemanasan global.
Baca juga: Google Segera Luncurkan Satelit Pemantau Metana, Lacak Kebocoran dari Migas
Emisi metana juga tidak bisa dianggap remeh. Selain 84 kali lebih kuat dalam memerangkap panas dibandingkan karbon dioksida, metana juga berpotensi menyebabkan pemanasan global 25 kali lebih besar.
Kepala Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hidayat mengatakan, metana dapat terakumulasi di danau melalui proses alami seperti dekomposisi bahan organik di sedimen.
"Peningkatan level metana dapat memiliki implikasi dengan memberikan kontribusi pada emisi GRK, yang dapat berdampak pada pemanasan global," ungkap Hidayat dikutip dari situs web BRIN, Kamis (29/2/2024).
Pada kondisi aerobik, jelas Hidayat, bakteri penghasil metana berkembang dengan baik apabila tersedia sumber karbon dari penguraian bahan organik.
Baca juga: Gas Metana dari Sisa Makanan Bisa Sebabkan Pemanasan Global
Karena itu, penting untuk memantau dan memahami dinamika metana di dalam air untuk manajemen ekologi dan mengatasi kekhawatiran terhadap iklim.
Kelompok Riset Dinamika Proses Perairan Darat BRIN Cynthia Henny menyebut, ekosistem akuatik diperkirakan berkontribusi antara 32 hingga 58 persen dari total emisi metana alami bumi.
"Penelitian-penelitian terbaru juga menunjukkan danau tropis dengan suhu yang lebih tinggi dapat mengakumulasi hingga 400 persen lebih banyak metana dibandingkan danau di zona subtropis dengan suhu yang lebih rendah," ujarnya.
Mayoritas produksi metana dari danau berasal dari proses mikroba anaerobik yang dinamakan metanogenesis.
Baca juga: Cegah Kematian Dini Hampir 1 Juta Orang, Emisi Metana Perlu Dipangkas Secepatnya
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, emisi metana perlu dipangkas secepatnya guna mencegah kematian dini hampir 1 juta orang pada 2050.
Desakan tersebut disampaikan oleh badan energi internasional, International Energy Agency (IEA), dalam laporan terbarunya, Rabu (11/10/2023).
Saat ini, metana berkontribusi sekitar 3 persen dari kenaikan suhu Bumi setelah Revolusi Industri pada abad ke-18, sebagaimana dilansir Earth.org.
Di sisi lain, emisi metana global terus meningkat. Setiap tahunnya, metana meningkat 14 parts per billion pada 2022.
Baca juga: Gunungan Sampah di Belitung Terbakar karena Metana, Wabup: Masih Terkendali
Hal tersebut membuat metana menjadi GRK dengan peningkatan tahunan terbesar keempat yang tercatat sejak pengukuran dimulai pada 1983.
Tingkat metana di atmosfer juga terbukti 162 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum masa Revolusi Industri, situasi yang membuat para ilmuwan gelisah.
Selain dari pembakaran bahan bakar fosil, emisi metana yang lepas ke atmosfer paling banyak berasal dari agrikultur dan sampah, masing-masing berkontribusi 40 persen dan 20 persen menurut Global Methane Assessment (GMA).
Agar suhu Bumi tidak naik 1,5 derajat celsius, metana perlu dipangkas 30 persen pada 2030 dari tingkat 2020.
Baca juga: Metana, Senyawa Karbon yang Paling Sederhana
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya