KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus berupaya mengatasi perubahan iklim.
Antara lain dengan mencatatkan pelaksanaan Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dan sumber daya perubahan iklim pada SRN (Sistem Registri Nasional) Pengendalian Perubahan Iklim (PPI).
Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Hari Wibowo mengatakan, prosedur pengurusan SRN cukup mudah.
Ia menjelaskan, SRN PPI adalah sistem pengelolaan, penyediaan data, dan informasi berbasis web tentang aksi dan Sumber Daya untuk Mitigasi Perubahan Iklim, Adaptasi Perubahan Iklim, dan NEK di Indonesia sebagaimana diatur dalam Perpres 98/2021.
Baca juga: Kebocoran Pengangkutan Karbon Lintas Negara Perlu Jadi Kekhawatiran Bersama
"Hal ini bertujuan, pertama agar pemerintah memiliki satu data Emisi GRK dan Ketahanan Iklim. Data nasional, sektor, dan subsektor," ujar Hari dalam pernyataan resmi, dikutip Senin (4/3/2024).
Hal inilah, kata dia, yang kemudian menjadi rujukan nasional dan internasional.
Kedua, mencatatkan pelaksanaan NEK (Nilai Ekonomi Karbon). Artinya, pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dan persetujuan teknis, serta transaksi atas persetujuan teknis maupun kinerja atas persetujuan teknis perdagangan emisi.
"Jadi fungsi SRN itu pertama sebagai dasar pengakuan pemerintah atas kontribusi penerapan NEK dalam pencapaian target NDC. Kedua, data dan informasi aksi dan sumber daya mitigasi penerapan NEK," tutur Hari.
SRN PPI ini juga bertujuan menghindari penghitungan ganda aksi mitigasi atau double claim, bahan penelusuran pengalihan, dan bahan pertimbangan kebijakan operasional lebih lanjut sesuai sesuai kebutuhan.
"Jadi penting sekali SRN PPI ini," tegas Hari.
Sebenarnya, lanjut Hari, bukan hanya pelaku usaha yang berkewajiban mencatatkan pelaksanaan Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, NEK, dan sumber daya perubahan iklim pada SRN PPI.
Kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat juga dapat mencatatkan dan melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan NEK pada SRN PPI.
"Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 21/2021," tuturnya.
Hari menjelaskan beberapa prinsip terkait penyelenggaraan Nilai Ekonomi karbon dan Perdagangan Karbon sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021.
Menurutnya, tidak cukup mendaftarkan kegiatan/aksi mitigasi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke dalam SRN, pelaku usaha dalam menghitung penurunan emisi GRK juga harus sesuai prinsip Measurable, Reportable, Verifiable (MRV).
Penghitungan reduksi emisi GRK harus sesuai standar nasional dalam sistem dan metoda Indonesia (SNI), merujuk kepada metodologi IPCC, dan sudah disepakati secara nasional melalui Panel Metodologi di KLHK.
Baca juga: Jadi Rujukan, Bursa Karbon Indonesia Diklaim Terbaik di ASEAN
"Kompatibilitas terhadap perdagangan yang sudah terjadi sejak lama bisa dilakukan dengan penyesuaian dalam prosedur sederhana, sehingga tidak akan menyulitkan pihak-pihak pelaku perdagangan karbon," terang Hari.
Apabila, lanjutnya, penurunan emisi GRK yang telah dihitung akan diperdagangkan, maka harus diubah ke dalam bentuk Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) melalui proses sertifikasi. SPE menjadi alat tukar yang bernilai moneter.
Selain itu, harus ada otorisasi untuk perdagangan karbon luar negeri. Sebab, berapa karbon yang keluar, ke mana tujuannya, serta berapa harga yang terjadi, perlu diketahui pemerintah.
Pencatatan ke luar negeri dilakukan untuk menghindari terjadinya penjualan berlebih (over selling) yang bisa menyebabkan target NDC Indonesia tidak tercapai dan terjadinya sengketa kepemilikan karbon.
Misalnya, ada kontrak karbon hutan dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun yang tidak diketahui pemerintah padahal eksploitasi karbon telah terjadi tiap tahun (pindah ke luar negeri).
Hari menjelaskan tahapan mencatatkan SRN (Sistem Registri Nasional) sampai akhirnya terbit SPE-GRK (Sertifikat Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca).
Berikut langkah-langkah membuat SRN:
1. Mendaftar dan mengisi data umum
2. Menyusun dokumen DRAM (Daftar Rincian Aksi Mitigasi) dan LCAM (Laporan Capaian Aksi Mitigasi)
3. Tinjauan akhir tim. Apabila syarat terpenuhi, maka terbitlah SPE-GRK di Registri Karbon SRN.
"Validasi DRAM paling lama satu bulan sejak DRAM diterima Validator. Setelah ada laporan Validasri DRAM dari Validator, kemudian baru menyusun LCAM. Verifikasi ini paling lama enam bulan sejak laporan diterima. Tahapan ini bisa dilihat di srn.menlhk.go.id," papar Hari.
Baca juga: Jaga Tata Kelola, KLHK Tindak Pelanggaran Perdagangan Karbon Hutan
Lebih lanjut, kata Hari, isu lain terkait penyelenggaraan perdagangan karbon yang perlu diluruskan adalah biaya penerbitan SPE (Sertifikat Penurunan Emisi).
Dalam Permen 21 tahun 2022 tentang Tata laksana Nilai Ekonomi Karbon, telah diatur adanya pungutan penerbitan SPE. Ini tertuang di Pasal 66 ayat (5). Bunyinya, penerbitan SPE-GRK dikenakan pungutan berupa tarif jasa pelayanan penerbitan SPE-GRK.
"Pungutan ini merupakan penerimaan negara bukan pajak. Masuk ke kas negara. Bukan ke kantong pribadi," tegas Hari.
Lantas, berapa biayanya?
Berdasarkan usulan KLHK ke Kementerian Keuangan, tarif Jasa layanan penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Nasional (SPE-GRK) per dokumen adalah Rp 3.000. Artinya, biaya mengurus Sertifikat Pengurangan Emisi GRK tidak akan terlalu tinggi.
Sebab, biaya yang dibutuhkan hanya untuk Menyusun Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM), Laporan Capaian Aksi Mitigasi (LCAM), dan melakukan validasi/verifikasi oleh pihak ketiga.
Biaya persiapan aksi mitigasi sehingga layak mendapat SPE GRK bisa relatif tinggi apabila memperhitungkan biaya investasi seperti teknologi dan sumber daya manusia serta alat pemantauan. Biaya tersebut akan spesifik, tergantung jenis aksi mitigasinya.
Adapun sejak 2021, kata Hari, telah terdapat 383 pelaku usaha yang mengajukan proses sertifikasi SRN.
Di antara jumlah tersebut, sebanyak 98 perusahaan sudah mencapai level penyusunan DRAM, 4 pelaku telah menyelesaikan LCAM, dan 3 perusahaan sudah mampu menerbitkan SPE. Ketiga perusahaan tersebut yakni Pertamina, PLN, dan Sidrap Bayu Energi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya