KOMPAS.com - Koordinator Pantau Gambut Sumatera Selatan M Hairul Sobri mendesak aparat berwenang menghentikan kegiatan alih fungsi lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan kepentingan lainnya.
Sebab, alih fungsi lahan gambut dapat memberikan dampak buruk ke banyak sektor, mulai dari lingkungan hingga kesehatan.
"Alih fungsi lahan gambut menimbulkan berbagai permasalahan atau dampak buruk di berbagai sektor, seperti lingkungan, ekonomi, kesehatan, hingga hubungan bilateral antarnegara," ujar Sobri, dilansir dari Antara, Senin (11/3/2024).
Baca juga: Alih Fungsi Lahan, Biang Keladi Suhu Panas
Ia menjelaskan, selain dampak alih fungsi lahan gambut, tata kelola kesatuan hidrologi gambut (KHG) secara serampangan dapat menimbulkan krisis ekologi yakni kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta banjir.
Krisis ekologi tersebut selalu mengusik ketenangan masyarakat, terutama yang bermukim di kawasan KHG dan sekitarnya.
Sebab, pada musim kemarau terjadi kekeringan dan karhutla, sedangkan pada musim hujan bisa terjadi banjir.
“Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu keseriusan pemerintah dengan tidak mengeluarkan izin yang mengancam KHG,” imbuhnya.
Menurut mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel itu, selama ini sudah banyak yang dilakukan berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan gambut yang menghantui setiap tahunnya.
“Namun, masih banyak pekerjaan rumah atau PR yang harus diselesaikan,” tegas Sobri.
Baca juga: Lahan Terbatas? Pertanian Cerdas Jadi Solusinya
Untuk itu, restorasi gambut di sejumlah kabupaten di Sumsel yang sudah berjalan sekitar 10 tahun perlu ditingkatkan.
"Saya berharap restorasi gambut harus terus ditingkatkan lagi, agar permasalahan yang terjadi selama ini dapat diminimalkan," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Sub Pokja Restorasi Gambut Sumsel BRGM Desi Efrida Lesti menyampaikan 'roadmap' pendekatan restorasi gambut di provinsi ini dilihat dari tiga periodik.
Pada periode 2016-2020, berlangsung secara parsial dan 'quick respond' yakni merestorasi gambut yang terjadi karhutla berbasis KHG tanpa memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.
Baca juga: 32.000 Hektare Lahan Mangrove Bakal Direhabilitasi Tahun Ini
Kemudian, pada 2021-2024 konsen kerja meliputi parsial dan 'quick respond' serta sistematika terpadu.
Dalam periode itu, lembaga adhock yang konsen terhadap gambut, memiliki pemodelan restorasi sistematik dan terpadu dengan memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.
Kemudian untuk periode 2025, sudah fokus dengan implementasi penuh restorasi sistematik terpadu, artinya bagaimana kondisi KHG akan tetap terpelihara dan memiliki fungsi sebagaimana mestinya.
Menurut Desi, persoalan di lapangan masih didapati masyarakat bergantung untuk keberlangsungan hidupnya di kawasan gambut lindung maupun konservasi.
"Jangan sampai perseteruan terjadi justru antara pemerintah dan masyarakat. Ini harus dihindari," ujar Desi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya