KOMPAS.com - Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Profesor Erlina Burhan mengatakan, tuberkulosis (TBC) dapat diobati dan dicegah melalui Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT).
"TPT itu adalah pengobatan yang diberikan kepada seseorang yang terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis dan berisiko sakit TBC," kata Erlina, sebagaimana dilansir Antara, Senin (25/3/2024).
Erlina, yang juga Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia Untuk Penanggulangan TB, mengatakan TPT dapat mengurangi risiko TBC sebesar 24-86 persen pada seluruh populasi berisiko, termasuk pasien terdiagnosis TBC laten.
Baca juga: Perlu Integrasi Penanganan TBC dan Stunting pada Anak
Selain itu, TPT berperan mengurangi risiko atau kematian akibat TBC pada pasien HIV yang rutin mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) hingga 60 persen serta mengurangi risiko TBC hingga 82 persen pada pasien anak.
Dia menuturkan, notifikasi kasus TBC di Indonesia mengalami peningkatan pada 2022, dengan penemuan mencapai 724.000 kasus.
Angka itu meningkat menjadi 821.000 kasus pada 2023, yang merupakan angka tertinggi sejak 1995.
Meskipun terjadi peningkatan notifikasi kasus, kata Erlina, peningkatan akses terhadap TPT masih berlangsung lambat.
Baca juga: Waspadai TBC Laten, Ini Kelompok yang Rentan Tertular
"Pencegahan infeksi TBC dan pencegahan perkembangan infeksi menjadi penyakit adalah kunci untuk mengurangi jumlah kasus sesuai dengan yang ditargetkan dalam Strategi End TB dari WHO," ujarnya.
Terkait hal tersebut, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengatakan, saat ini pemerintah terus berupaya dalam mengeliminasi TBC di Indonesia.
Dia menyampaikan, upaya penanggulangan TBC telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2021, yang membahas pengaturan dan strategi penanggulangan TB.
"Satu-satunya negara yang memiliki perpres terkait TBC adalah Indonesia, karena presiden mengatakan masalah ini tidak hanya masalah kesehatan, tetapi beberapa kementerian dan sektor juga harus mengambil tanggung jawab terkait hal ini," ucapnya.
Baca juga: Begini Perbedaan Batuk Pneumonia, Asma, dan TBC pada Anak Menurut Ahli
Ia menjelaskan, beberapa upaya percepatan penanganan TBC telah dilakukan melalui berbagai pilar yakni pencegahan, promosi kesehatan, deteksi, pengobatan, dan surveilans yang seluruhnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor.
Pihaknya juga telah melakukan pertemuan dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan kementerian lain untuk membahas rumah singgah bagi pasien TBC resisten obat (RO).
Selain itu, membahas pendampingan bagi tenaga kesehatan program TBC serta optimalisasi penemuan kasus melalui kegiatan skrining dan investigasi kontak kolaboratif dengan kader atau komunitas.
"Pelatihan online untuk petugas kesehatan melalui platform TB E-learning, workshop (lokakarya) komunikasi motivasi organisasi penyintas TBC, dan workshop perencanaan logistik program TBC juga telah dilakukan," tutur Imran.
Baca juga: Setiap Harinya, 385 Pasien TBC di Indonesia Meninggal Dunia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya