Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/03/2024, 07:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Kearifan lokal dapat menjadi pertimbangan untuk dimasukkan dalam tata kelola kehutanan, terutama masyarakat yang sudah hidup dalam waktu lama di sekitar hutan.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Binov Handitya mengatakan, ada kaitan antara perlindungan hutan dengan kearifan lokal.

Kaitan tersebut dapat ditemukan dalam potret perilaku ekologis masyarakat asli yang tinggal dan hidup selama berabad-abad di sekitar hutan.

Baca juga: Sepanjang 2023, Indonesia Kehilangan Hutan Setara 238.318 Lapangan Sepak Bola

"Masyarakat lokal memiliki cara sendiri dalam memelihara tanah dan sumber daya alam yang lebih baik karena mereka memiliki semacam ikatan religius terhadap hutan tersebut," kata Binov, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (27/3/2024).

Nilai dan etika leluhur yang masuk dalam kearifan lokal termasuk bagaimana manusia selayaknya memperlakukan alam dan berhubungan dengan alam yang sudah ada sejak dulu.

"Masyarakat lokal diharapkan sebagai agen pemelihara utama dalam hal biodiversitas dan konservasi hutan," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Profesor Subarudi dari Pusat Riset Kependudukan BRIN mengatakan, banyak contoh kearifan lokal yang menjadi pertimbangan dalam tata kelola hutan.

Baca juga: Komitmen WIKA Terapkan ESG, Punya Hutan Konservasi

Salah satu kearifan lokal yang dapat menjadi contoh adalah terkait durian yang ada di Kalimantan.

Dia menjelaskan peran serta masyarakat dalam tata kelola hutan juga sudah didorong oleh pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui skema perhutanan sosial.

Perhutanan sosial sendiri dibagi lima jenis yaitu hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan hutan.

Dia mengatakan, pengakuan hutan adat dalam perhutanan sosial masih dapat berjalan lebih maksimal.

Baca juga: Jaga Tata Kelola, KLHK Tindak Pelanggaran Perdagangan Karbon Hutan

Menurut data KLHK, sepanjang 2016-2023 telah diakui 244.195 hektare hutan adat yang tersebar di 18 provinsi dan 40 kabupaten kota.

Luas itu di luar pengakuan wilayah adat yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Menurut lembaga nonpemerintah Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), potensi luas hutan adat adalah 1,3 juta hektare untuk Pulau Sumatera, 8,4 juta hektare di wilayah Kalimantan, 1,2 juta hektare di Sulawesi, 271.000 di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Sementara di Maluku potensi luas hutan adat mencakup 199 ribu hektare dan 11,3 juta hektare di Papua.

"Perda (peraturan daerah) itu mahal kalau satu-satu (penetapan) hutan adat. Saya dulu sudah pernah sarankan sudah saja, cek dulu hutan adatnya berapa jadi satu perda," ujarnya.

Baca juga: MUI Haramkan Deforestasi, Membakar Hutan, dan Lahan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau