Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suhendra Suhendra
Dosen dan Konsultan

Technopreneuer, Dosen dan Konsultan Industri

Mencegah Kutukan Rp 271 Triliun

Kompas.com - 10/04/2024, 15:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJATINYA, negara-negara yang kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas, mineral, atau logam menjadi negara kaya dan penduduknya sejahtera.

Sayangnya, fakta menunjukkan mayoritas negara pemilik sumber daya alam berlimpah mengalami pertumbuhan ekonomi lebih lambat dibandingkan negara-negara yang kurang kaya sumber daya.

Bukan hanya itu, perebutan sumber sumber daya pada negara-negara kaya sumber daya alam sering diiringi ketegangan politik yang membawa rakyat di negara-negara tersebut pada konflik horizontal.

Paradoks ini telah lama dikenal dengan the resource curse (kutukan sumber daya alam).

Nigeria, Republik Demokrasi Kongo dan Venezuela adalah beberapa contoh kasus paradoks yang menggambarkan teori kutukan sumber daya alam.

Di negara-negara ini, eksploitasi sumber daya alam meninggalkan kerusakan alam yang menjadi beban kepada generasi berikutnya. Seolah, alam “mengutuk” keserakahan manusia di negara ini dengan tidak memberikan kesejahteraan rakyatnya hingga kini.

Paradoks ini relevan dicermati kembali di tengah pemberitaan media mengenai kasus tambah timah yang nilai kerusakan lingkungannya mencapai Rp 271 triliun.

Sebagai acuan terkini, dalam buku “The Devil and Florentino: Specters of Petro-Populism in Venezuela” (A Kappeler, 2024, Cambridge University Press), membahas tentang penggunaan konsep "kutukan sumber daya" yang berdampak pada politik dan ekonomi.

Meski fokus buku ini adalah Venezuela, tetapi relevan untuk dihayati bagaimana dampak korupsi sumber daya alam pada lingkungan dan ekonomi rakyatnya.

Fakta yang terjadi pada Venezuela dalam teori Kappeler menunjukkan bahwa di tengah pemasukan besar dari penjualan minyak tidak semerta-merta menjadi pendorong stabilitas demokrasi dan ekonomi negara.

Kebalikanya, eksploitasi sumber daya tersebut telah memengaruhi dinamika politik, ekonomi, dan sosial di Venezuela dengan hasil yang merusak.

Istilah Petro-Populisme diperkenalkan dalam buku ini merujuk pada penyalahguaan pendapatan minyak oleh rezim penguasa untuk membiayai program-program populis yang ditujukan untuk mendapatkan dukungan rakyat.

Karenanya, kebijakan petro-populisme tidak berkorelasi pengentasan kemiskinan, malah justru meninggalkan ketimpangan dan polarisasi sosial, serta dampak negatif pada kualitas hidup rata-rata warga Venezuela.

Kappeler menyoroti kegagalan konversi sumber daya alam yang melimpah menjadi kesejahteraan rakyat akibat dua tradisi destruktif: korupsi uang hasil penjualan sumber daya alam dan penyalahgunaan kekuasaan.

Penyalahagunaan kapital dan kekuasaan tersebut seringkali dilakukan tanpa tata kelola yang baik dan tanpa motif pemerataan ekonomi.

Uang hasil korupsi diakumulasi rezim agar menjadi modal besar memperkuat kekuasaan. Selain untuk mengokohkan kekuasaan politik, modal uang yang ada digunakan untuk membiayai jaringan patronase dan membungkam opini media agar mengurangi ruang bagi oposisi politik.

Karenanya, di tengah pemberitaan mengenai kasus korupsi pertambangan timah, mudah bagi kita untuk terjebak dalam kekecewaan dan pesimisme.

Namun, di balik awan gelap ini, terdapat peluang emas untuk refleksi dan transformasi. Cerita ini bukan hanya tentang angka atau statistik, melainkan tentang masa depan bangsa yang kaya raya, potensinya, dan harapan rakyatnya untuk kehidupan lebih baik.

Kekayaan menggunung sumber daya pertambangan kita, sejatinya adalah harapan besar masa depan bangsa yang cerah.

Kita tentu berharap besar, momentum kasus korupsi tambang timah menggugah kita semua, dari pemerintah hingga rakyat jelata, tentang pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Negara yang hanya tergantung pemasukan utamanya pada ekspor sumber daya alam, sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditi global. Konsekuensinya, bila terjadi inflasi tinggi, maka akan diikuti gelombang pengangguran, dan ketidakstabilan ekonomi.

Indonesia, negeri yang diberkahi kekayaan alam luar biasa, berada di persimpangan jalan. Pilihan kita hari ini akan menentukan kesejahteraan generasi akan datang.

Kalau boleh berandai, bila sebuah provinsi di Indonesia menganggarkan belanja daerahnya Rp 4 triliun untuk pendidikan, maka uang Rp 271 triliun adalah berita baik lebih dari 50 tahun sekolah gratis dari sekolah dasar hingga universitas.

Angka ini menjadi relevan di tengah gencarnya ambisi pemerintah mengejar penguasaan teknologi strategis untuk kemajuan bangsa mengejar ketertinggalan.

Korupsi di sektor pertambangan bukan hanya kehilangan uang; itu adalah kehilangan peluang untuk pendidikan berkualitas, kesehatan, dan infrastruktur yang lebih baik bagi rakyat Indonesia.

Anggaran yang hilang bisa digunakan untuk membiayai sekolah dan universitas, membangun rumah sakit, dan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, bukan akhir dari segalanya.

Ini adalah kesempatan untuk membangun sistem yang lebih kuat, transparan, dan akuntabel.

Mengamankan kekayaan alam kita juga berarti investasi pada sumber daya manusia terbesar kita, yakni rakyat Indonesia. Pendidikan adalah kunci utama dalam membentuk masa depan bangsa yang cerah.

Dengan memperkuat anggaran pendidikan dan memastikan akses yang lebih luas bagi semua, kita dapat melahirkan generasi baru yang terdidik, inovatif, dan mampu mengelola sumber daya alam dengan bijak.

Perubahan ini membutuhkan kerja sama erat antara pemerintah, sektor swasta, komunitas akademik, dan masyarakat sipil.

Setiap pihak harus bertanggung jawab dalam perannya masing-masing, dari menetapkan kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan, mengawasi implementasinya, hingga mendidik masyarakat tentang pentingnya konservasi sumber daya alam dan integritas.

Karenanya, sudah saatnya melihat korupsi tambang timah bukan sebagai akhir, melainkan sebagai awal dari perjalanan baru menuju Indonesia yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Dengan memanfaatkan kekayaan alam secara bijak dan bertanggung jawab, kita dapat memastikan nilai kerusakan lingkungan sebesar Rp 271 triliun dari kasus tersebut tidak memberikan “kutukan alam" yang menghantui masa depan bangsa.

Kita memiliki kekuatan untuk mengubah paradoks menjadi peluang, memastikan setiap tambang yang digali dan setiap mineral yang dikeruk membawa kita selangkah lebih dekat ke Indonesia yang adil, makmur, dan berkelanjutan.

Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk bersama-sama melindungi dan mengamankan kekayaan alam kita. Bersama, kita dapat membangun warisan yang akan kita banggakan untuk diberikan kepada generasi mendatang.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com