DALAM kunjungannya ke Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (2/5/2023), Presiden Joko Widodo meresmikan Bendungan Tiu Suntuk di Kabupaten Sumbawa barat.
Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengatakan, perubahan iklim membuat air menjadi kunci kehidupan. Air jadi sangat penting bagi kehidupan. Utamanya di NTB, baik untuk pertanian, air baku, maupun air minum.
Karena itu, pemerintahan Jokowi membangun tujuh bendungan di NTB. Paling banyak di seluruh provinsi di Indonesia.
Selain Bendungan Siu Suntuk, enam bendungan lain juga dibangun di NTB sepanjang periode kepemimpinan pemerintahan Presiden Jokowi.
Bendungan lainnya adalah Bendungan Tanju dan Bendungan Mila di Kabupaten Dompu, Bendungan Meninting di Kabupaten Lombok Barat, Bendungan Bintang Bano di Kabupaten Sumbawa Barat, dan Bendungan Beringin Sila di Kabupaten Sumbawa.
Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), hingga 2022, pemerintahan Jokowi telah membangun 36 bendungan dari target 61 bendungan.
PUPR mencatat, jumlah itu terdiri 29 bendungan yang terbangun hingga 2021 dan 7 bendungan baru yang telah diresmikan pada 2022.
Pada 2023, telah diselesaikan enam bendungan lainnya di seluruh Indonesia. Lima lainnya adalah Bendungan Cipanas (Jawa Barat), Bendungan Sepaku Semoi (Kalimantan Timur), Bendungan Karian (Banten), Bendungan Ameroro (Sulawesi Tenggara), dan Bendungan Lolak (Sulawesi Utara).
Saat ini, Kemeterian PUPR sedang mengupayakan untuk menyelesaikan sisa 19 bendungan hingga akhir 2024 atau selambat-lambatnya pada awal 2025.
Bendungan-bendungan ini diharapkan memperkuat ketahan pangan dan ketahan air nasional. Umumnya, bendungan yang dibangun memiliki banyak fungsi antara lain sebagai sumber air irigasi, penyedia air baku, pembangkit energi listrik terbarukan, pengendalian banjir, konservasi air dan pengembangan pariwisata.
Salah satu kelemahan dari pembangunan bendungan-bendungan yang megah ini adalah belum dibarengi dengan perlindungan bendungan dari aspek lingkungan.
Beberapa bendungan pada umumnya dibangun di tempat tandus dan kering. Sementara kondisi lahan di daerah hulu maupun di atas genangan bendungan sangat kritis.
Padahal, bendungan dibangun pada umumnya untuk menampung air dan mengairi sawah untuk irigasi pertanian serta mereduksi banjir.
Lalu, bagaimana semua bendungan tersebut mampu bertahan dengan proyeksi umur 50-75 tahun? Pasalnya, kondisi sedimentasi dalam genangan bendungan akan cepat meningkat dengan tajam setiap tahun apabila tidak diikuti perbaikan lingkungan di atas genangan maupun di hulu bendungan.
Bendungan yang dibangun dengan biaya triliunan rupiah itu, sudahkah menimbang perlakuan lingkungan?
Adakah pendampingan dan konektivitas kegiatan rehabilitasi lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selama ini untuk melindunginya? Adakah kedua kementerian bersinergi dalam program bendungan?
Bendungan atau waduk menjadi penting untuk mengatur kebutuhan air sebagai bagian dari ketahanan pangan dan sebagai pengendali bencana. Karena itu, bendungan adalah barang milik negara yang vital.
Saat masih bekerja di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wilayah IX di Ujung Pandang (sekarang Makassar) pada 1994, saya diminta menyusun desain rehabilitasi oleh Departemen Pekerjaan Umum yang hendak membangun bendungan Bili-Bili di sungai Jeneberang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya