Ada dua bejana raksasa sebagai tempat menabung air di tengah berlangsung krisis iklim yang yang sedang mendera dunia secara global, yakni bencana alamiah berupa ekosistem hutan di daerah hulu dan bencana buatan manusia berupa bangunan bendungan yang dibangun di bawahnya dalam satu kesatuan ekosistem daerah aliran sungai (DAS).
Secara alami, air tawar yang jumlahnya 2,5 persen total air yang ada di planet ini berasal dari air hujan, yang masuk ke permukaan, masuk ke dalam tanah, atau mengalir melalui sungai.
Proses alam menguapkan kembali air itu menjadi air hujan. Siklus itu terus terjadi seumur bumi.
Air hujan yang masuk dalam wilayah tangkapan air (catchment area) di sebuah daerah aliran sungai ditangkap oleh hutan lalu dialirkan masuk ke dalam tanah.
Ekosistem DAS yang ideal dari aspek tata air adalah apabila pada saat musim hujan tidak terjadi banjir dan saat musim kemarau tidak terjadi kekeringan/kekurangan air.
Secara kuantitatif, indikator yang mudah diingat adalah apabila rasio debit air maksimum di musim hujan dan debit air minimum di musim kemarau (Q maks/Q min) pada suatu ekosistem DAS masih kuran/di bawah angka 40, maka DAS tersebut masih dianggap masih baik.
Faktanya adalah banyak DAS-DAS besar khususnya yang berpenduduk padat seperti di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, rata-rata Q maks/ Q min sudah di atas angka 40. Bahkan untuk DAS-DAS yang sudah rusak berat/sangat kritis angka tersebut dapat mencapai diatas 2000.
Bagi DAS-DAS yang telah mencapai tahap sangat kritis, pembangunan bendungan yang dilakukan selama ini, manfaatnya hanya untuk pengendalian banjir saat musim hujan semata.
Sementara pada saat musim kemaru, bendungan-bendungan ini tidak berfungsi sama sekali karena air susut sampai kedasar bendungan.
Lagi pula di saat yang sama, terjadi proses sedimentasi kedalam wilayah genangan bendungan yang cepat karena di daerah hulunya (daerah tangkapan air) telah rusak dan kawasan tutupan hutannya tidak lagi berfungsi sebagai penyeimbang neraca air.
Sedimentasi yang dipercepat dan masuk dalam genangan bendungan akan memperpendek pemakaian usia bendungan, apabila tidak segera direhabilitasi daerah hulunya menjadi hutan kembali.
Kasus ini terjadi pada Bendungan Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah; akibat sidementasi di daerah hulunya Sungai Bengawan Solo yang sangat cepat, maka usia pemakain bendungan akan lebih pendek dibanding dengan perkiraan semula.
Yang ideal adalah apabila fungsi hutan di daerah hulu DAS dan fungsi bendungan dapat berjalan dan bersinergi dengan baik.
Kita harus mewaspadai perubahan iklim yang menjurus kepada krisis iklim. Krisis iklim di Indonesia dampaknya mulai terasa dengan berubahnya pola cuaca. Tidak terdeteksi lagi batasan antara musim hujan dan kemarau.
Dulu di bawah tahun 2000-an, kita mengenal musim hujan antara Oktober-April dan musim kemarau April-Oktober. Namun sekarang, bulan-bulan tersebut sudah tidak dapat dijadikan patokan lagi.
Faktanya sampai awal Mei 2024, hujan masih terus terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Bahkan untuk beberapa daerah, musim hujan menimbulkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya