Bendungan bantuan pemerintahan Jepang (OECF) itu kondisinya memang kritis/gundul. Perlakuan lingkungan menjadi satu paket dengan pembangunan fisik waduk dan menjadi syarat mutlak dalam proposal yang diminta negara donor (OECF).
Umur atau masa pakai waduk dihitung dengan menimbang kekuatan badan bendung menahan air dengan mengabaikan faktor sedimentasi yang masuk dalam genangan waduk, karena sedimentasi yang masuk dalam genangan dianggap nol (tidak terjadi sedimentasi).
Untuk melindungi bendungan, DAS Jeneberang harus ditanami vegetasi kayu-kayuan. Dalam wilayah kawasan hutan yang telah kritis dapat ditanami jenis vegetasi kayu-kayu berdaun lebar dan perakaran yang dalam dengan jarak yang rapat 2 x 3 meter agar tanaman hutan ini kelak menyerap air hujan ke dalam tanah (infilitrasi) lebih besar dibanding mengalir di permukaan tanah (surface run off).
Untuk lahan kritis di luar kawasan hutan, namun masuk dalam kawasan lindung meski bisa ditanami tanaman pangan (semusim), harus dicampur dengan tanaman kayu-kayuan dengan sistem wana tani.
Jenis kayu-kayuan dalam sistem wana tani berupa jenis manfaat ganda seperti buah-buahan.
Sementara di daerah genangan waduk yang lahannya telah kritis perlu jenis vegetasi kayu berdaun lebar, perakaran dalam dan kuat serta memenuhi kriteria cepat tumbuh karena ancaman sedimentasi lahan kritis yang berada di atas genangan waduk sangat nyata dan cepat larut dalam genangan.
Ancaman lain bagi tanaman hutan yang berproses menjadi pohon dewasa bila berhasil tumbuh dengan baik adalah kebakaran saat musim kemarau.
Untuk menghindari dan menekan ancaman tersebut bisa dengan membuat sekat bakar setiap petak (25 hektare) atau blok (100-200 hektare) secara berkeliling dengan lebar tertentu (10-20 meter).
Bentuknya dapat berupa jalur kuning (tanah terbuka) maupun jalur hijau (ditanami dengan tanaman yang tahan api).
Sebagai kontrol, setiap blok dibuat menara pengawas setinggi 15-25 meter. Kantong-kantong air atau embung untuk cadangan air pada musim kemarau dan memadamkan api jika terjadi kebakaran.
Agar pohon tumbuh dewasa hingga usia 15-20 tahun, pemeliharaan perlu dengan penyulaman, pendangiran, hingga pemupukan.
Memulihkan tutupan hutan melalui rehabilitasi memang mahal, namun investasinya hanya 30 persen dari biaya membuat waduk. Sebab, bila rehabilitasi hulu waduk gagal, nasibnya seperti Bendungan Bili-bili.
Pengalaman pembangunan Bendungan Bili-Bili di Kabupaten Gowa Sulsel tahun 1994/1995 yang terlambat dalam perbaikan lingkungan di daerah atas genangan dan hulunya belum dapat berfungsi secara optimal mereduksi banjir, menjadi pelajaran berharga.
Buktinya pada 2019 lalu, Sulsel khususnya Kabupaten Gowa dilanda banjir bandang dan longsor. Isunya bendungan Bili-Bili jebol, meskipun berita ini tidak benar.
Ini mengindikasikan bahwa perlakukan lingkungan khususnya dengan rehabilitasi/revegetasi jenis tanaman kayu-kayuan yang diterapkan bagi daerah tangkapan air di hulu bendungan tersebut mengalami kegagalan.
Secara fungsional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) langsung maupun tidak langsung harus berperan aktif dan mendampingi pemulihan lingkungan daerah sekitar bendungan dan daerah hulunya.
Perlu dipikirkan untuk pembuatan persemaian permanen di daerah bendungan untuk menyuplai kebutuhan bibit rehabilitasi lahan daerah hulu dan genangan bendungan, sebagaimana KLHK membangun persemaian berskala besar untuk daerah destinasi wisata prioritas di Danau Toba Sumut, Labuan Bajo, NTT, Mandalika NTB dan Likupang di Sulut.
Rasanya, 61 bendungan yang telah dibangun tersebut perlu diperlakukan sama dengan daerah-daerah wisata prioritas dalam dukungan rehabilitasi lahannya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya