MINGGU ini akan menjadi minggu yang sibuk untuk Indonesia, lebih tepatnya Bali sebagai tuan rumah puncak perhelatan ajang tiga tahunan, World Water Forum (WWF).
Situs resmi Dinas Pariwisata Provinsi Bali menyebutkan sekitar 50.000 peserta dari 173 negara akan hadir di ajang yang telah diadakan dari tahun 1997 tersebut.
Indonesia bukan menjadi tuan rumah dengan memenangkan undian. Langkah persiapannya telah dimulai sejak pertengahan tahun 2022, hingga satu tahun berselang Presiden Joko Widodo menerbitkan Kepres Nomor 1 Tahun 2023 tentang Panitia Nasional penyelenggara WWF ke-10.
Ibarat pujasera, selama satu minggu ke depan peserta akan disuguhkan menu beragam; termasuk di antaranya 230 forum tematik, 55 acara sampingan, dan 10 acara spesial dari pelbagai institusi dan organisasi internasional.
Semuanya akan fokus pada bagaimana masyarakat internasional merespons permasalahan air yang telah terjadi di sekeliling kita.
Mengapa hajatan air terbesar di dunia ini perlu diadakan? Menjawab pertanyaan ini, tidak sah rasanya tanpa mengetahui apa saja permasalahan seputar air.
Air bukan sekadar komoditas, ia adalah kehidupan itu sendiri. Sepanjang peradaban, air telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah hidup manusia.
Dalam konteks yang lebih luas seperti krisis iklim, air secara jelas berada di jantung permasalahannya.
UN Water menyebutkan bahwa perubahan iklim sebagian besar terkait dengan air. Jika dihubungkan, 80 persen permasalahan krisis iklim sangat erat hubungannya dengan isu air.
Banjir yang semakin parah, naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan, dan kekeringan adalah beberapa contoh nyata dari dampak miss management air.
Lantas, sebegitu genting isu ini? Ada banyak dimensi yang dapat dibahas. Bagi penulis, perhatian dan fokus kita harus langsung ke akar persoalannya: Air kita sangat terbatas.
Mengesampingkan air laut yang tidak bisa manusia konsumsi secara langsung, air yang terperangkap jauh di dalam tanah yang tidak bisa terakses, dan semua air yang tersimpan di gletser maupun es; jumlah air yang dapat kita manfaatkan hanya 0,03 persen.
Jika diibaratkan semua sumber daya air di dunia ini merupakan tubuh manusia, 0,03 persen hanya sebesar ujung ibu jari kita.
Semuanya untuk memenuhi kebutuhan aktivitas manusia termasuk agrikultur, industri, sanitasi dan lain-lain. Jumlah yang sangat tidak sepadan.
Hal ini yang membuat isu air genting, namun di saat yang bersamaan sangat mendasar dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena itu, isu air perlu perhatian serius dari setiap lini di penjuru bumi. Artinya, menjadikan air sebagai isu arus utama yang terus didorong setiap pihak.
Komunikasi dan edukasi terkait masalah air harus terus gencar dilakukan, baik di level nasional, akar rumput, hingga masyarakat internasional.
Selama ini kita memang tidak hanya diam. Hanya saja, masih bekerja secara parsial (silo approach).
Sehingga, adanya WWF (utamanya di rumah kita sendiri) kembali menjadi penggugah bagi seluruh pihak maupun pemangku kepentingan di level nasional hingga daerah untuk segera mengalokasikan dan menganggarkan secara matang solusi terhadap permasalahan air.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 memang telah menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia menargetkan pencapaian 100 persen akses air minum layak dan 15 persen akses air minum aman, kemudian 30 persen akses air minum perpipaan melalui pembangunan air minum 10 Juta Sambungan Rumah (SR).
Sumber pendanaan melalui APBN diperkirakan hanya mampu berkontribusi sebesar 17 persen total kebutuhan pendanaan sebesar Rp 123,4 triliun, sehingga akses air minum hanya mampu dipenuhi sebanyak 3,1 juta SR sampai akhir 2024.
Jelas, jika hanya mengandalkan APBN semata, maka target penyediaan air minum 10 juta SR masih jauh dari sasaran.
Kabar gembiranya, masyarakat internasional mulai berbondong-bondong memperhatikan isu air. Dalam laporan yang dikeluarkan IPCC tahun 2022, sebanyak 1.800 strategi perubahan adaptasi perubahan iklim di setiap negara, 80 persennya telah berkaitan dengan air.
Tentu hal ini oase mengingat permasalahan air memang tidak bisa dipisahkan dan selalu terkait, serta terikat dengan area lain.
Kembali ke perhelatan WWF. Dari banyak sesi di WWF, yang ingin penulis sorot adalah sesi mengenai integrasi isu Air-Energi-Pangan, seperti yang akan dibawakan oleh beberapa organisasi dalam side event resmi WWF seperti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, United Nations Development Programme (UNDP) dan North China University of Water Resources and Electric Power.
Menarik, melihat telah ada diskursus mengenai kerja air yang jelas mesti multidimensi dan tidak dapat berdiri sendiri.
Di sisi lain, hubungan antara air dan hak asasi manusia juga sangat penting, seperti yang juga dibahas dalam salah satu side event resmi dalam WWF.
Melihat isu air tidak terlepas dari bagaimana air ini dimanfaatkan oleh hajat hidup orang banyak, sehingga etika bisnis bagi pihak yang menjalankan usaha yang berhubungan air perlu diperhatikan betul agar tetap memastikan hak kita sebagai manusia dalam mendapatkan lingkungan yang sehat, bersih dan berkelanjutan.
Air sedang dan akan terus menjadi pembahasan hingga semua pihak secara serius dan matang memerhatikannya. Penulis berhadap di masa yang akan datang, WWF sudah tidak lagi relevan; karena itu artinya, peradaban manusia telah tepat menangani air.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya