POSO, KOMPAS.com - Bertahun-tahun menjadi petani, Fantri Katili (35) baru mengalami panen jagung mencapai 4 ton dari lahannya dengan luas sekitar 1 hektare.
Padahal di tahun-tahun sebelumnya, ladangnya yang terletak di Desa Doda, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) tersebut hanya mampu menghasilkan jagung sekitar 2 ton sekali panen.
"Selama ini kami pakai (metode tanam jagung) biasa saja. Tanam suka-suka. Setelah ikut pelatihan, ternyata selama ini yang saya lakukan salah," kata petani perempuan tersebut di ladang jagungnya, Sabtu (1/6/2024).
Baca juga: ANJ Salurkan Premi Minyak Sawit Berkelanjutan Rp 442 Juta ke Petani
Fantri adalah salah satu petani perempuan yang diberdayakan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) melalui program bernama Increasing the Leverage of iMSD across Indonesia (Inclusion).
Dalam program tersebut, Fantri mendapatkan pendampingan dan pelatihan mengenai metode pertanian berkelanjutan mulai dari persiapan lahan, pemilihan bibit, teknik pertanian, pemupukan, pengendalian hama, hingga pasca-panen.
Fantri menuturkan, pendapatannya turut terkerek karena meningkatnya produktivitas jagung di ladangnya tersebut.
Menurutnya, petani dengan luasan lahan yang tidak terlalu besar seperti dirinya memerlukan pendampingan agar bisa semakin mandiri.
"Cara perawatan menanam dan memanen yang baik sudah saya terapkan dan buktikan sendiri," ujar Fantri.
Baca juga: Dukung Petani dan Ketahanan Pangan, FKS Multi Agro Serap Kedelai Lokal
Dia mengaku akan senang hati menularkan pengetahuannya tersebut kepada petani-petani kecil lainnya bila membutuhkan.
Petani perempuan dari Kecamatan Lore Tengah lain yang merasakan peningkatan produktivitas jagung adalah Eta Dewysamentara, warga Desa Hanggira.
Dulu ketika menggunakan bibit lokal dengan metode pertanian yang ala kadarnya, 3 kilogram (kg) benih hanya menghasilkan sekitar 500 kg jagung.
Setelah engikuti berbagai pelatihan dari WVI dan mitra swastanya, produktivitas ladang jagung Eta meningkat tiga kali lipat.
"Kemarin saya tanam bibit (unggul) 1 kg, dapat panen sekitar 570 kg," kata Eta.
Baca juga: RI Diusulkan Jadi Pusat Pelatihan Petani Muda Asia Pasifik
Sementara itu, petani difabel dari Desa Rompo, Kecamatan Lore Tengah, Abdul Hasan Polohe, juga mengaku mendapatkan panen besar setelah menerapkan metode pertanian yang disampaikan WVI.
Bermodal 20 kg bibit jagung yang dia tanam, petani penyandang disabilitas daksa tersebut memperoleh panen sekitar 10 ton jagung.
Sebelum mulai menerapkan berbagai metode yang diajarkan, Hasan awalnya skeptis dengan metode yang diajarkan.
Pasalnya, selama bertani selama puluhan tahun, berbagai proyek pelatihan petani hanya sekadar lalu saja tanpa ada pendampingan yang berkelanjutan.
"Tapi ternyata masyarakat didampingi. Saya kira selesai begitu saja ternyata tidak," jelas Hasan.
Karena kepercayaan tersebut, Hasan mencoba menerapkan metode pertanian yang diajarkan sembari didampingi. Dan hasilnya sesuai yang diharapkan.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Bikin Harga Pupuk Meroket, Petani Beralih ke Alam
Team Leader Inclusion Project Sulteng WVI Kristian Edi Suseno mengatakan, program tersebut bertujuan memberdayakan petani kecil dan rentan melalui pengembangan sistem pasar yang inklusif dan berkelanjutan.
Kelompok rentan tersebut meiputi, perempuan, petani lansia, difabel, dan komunitas lain seperti keagamaan.
Program tersebut dimulai sejak 2022, yang merupakan pengembangan dari program sebelumnya, dengan rintisan awal di sejumlah desa di Kecamatan Lore Tengah, Poso.
Edi menuturkan, selama ini petani rentan berhadapan dengan produktivitas yang rendah sehingga kesulitan memenuhi kebutuhannya.
Produktivitas ladang jagung yang seharusnya bisa mencapai 7 ton per hektare, selama ini mereka hanya menghasilkan sekitar 3 ton saja.
"Artinya dalam satu hektare, petani jagung kehilangan sekitar 4 ton," kata Edi.
Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan karena petani rentan kurang mengetahui metode pertanian yang tepat. Ada kesenjangan pengetahuan dalam mengolah ladang jagungnya.
Melalui program Inclusion tersebut, WVI melakukan intervensi kepada petani rentan mulai dari pemilihan bibit, perawatan, pemupukan, pasca-panen, hingga pengelolaan keuangan yang inklusif.
Baca juga: Indonesia Produsen Rumput Laut Terbesar ke-2 Dunia, AGAR Jalin Kemitraan dengan Petani
Selain memberikan pelatihan dan pendampingan, sistem dalam program Inclusion memiliki mata rantai yang saling berkelanjutan.
Awalnya, petani rentan diberdayakan agar lebih mandiri. Jika sudah, petani rentan yang potensial bisa menjadi offtaker atau pengepul agar serapan panenan lebih beragam dan harga jagungnya semakin naik.
Sedangkan limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan hewan. Sambil bertani, petani dapat sembari mengurus ternak.
Limbah peternakan berupa kotoran ternak dapat dimanfaatkan juga sebagai pupuk untuk mendukung pemumpukan ladang milik petani.
Sehingga selain dapat memberdayakan petani rentan yang bersifat inklusif, sistem tersebut juga dapat mewujudkan pertanian yang berkelanjutan.
Di samping rentan, kelompok-kelompok tersebut juga menghadapi ketergantungan yang tinggi. Sebagai contoh perempuan, ada banyak yang terlibat dalam jagung namun mayoritas menjadi buruh saja.
"Kami ingin mereka punya pengetahuan. Setelah mendapat itu mereka bisa menggerakkan orang lain, promosi ke orang lain, bisa mengajak lain, itulah pemberdayaan kami," tutur Edi.
Baca juga: Terangi Buah Naga, Tambah Cuan Petani di Perbatasan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya