Tak hanya itu, kehadiran radar juga memotivasi anak-anak setempat untuk masuk menjadi anggota TNI AU.
Tercatat ada 14 orang dari Desa Buraen menjadi anggota TNI AU, baik dari jalur Bintara maupun Tamtama.
Lima orang saat ini bertugas di Pangkalan Udara El Tari Kupang, dua orang di Radar 226 Buraen dan sisanya bertugas di luar Provinsi NTT.
Dua anggota yang bertugas di Radar 226 Buraen yakni Pratu Ronaldo Rivaldi Taneo dan Prada Reksi George Z Fay. Ronal masuk tahun 2018 dan Reksi diterima tahun 2023.
"Kedua adik kita yang bertugas di sini (Ronal dan Reksi), juga sangat membantu, terutama soal berkomunikasi menggunakan bahasa daerah dengan warga," kata Salamba.
Bagi Salamba, tidak mudah bertugas di bagian radar karena harus siaga 24 jam mengawasi pergerakan pesawat. Karena itu dibutuhkan mental yang kuat seperti baja. Tak ada hari libur bagi personel radar. Setiap hari harus bekerja.
Meski dengan beban kerja tinggi, Salamba tetap mencintai pekerjaannya itu.
Keinginan Salamba untuk pindah tugas ke tempat lain, masih akan dipikirkan kembali, mengingat dirinya telah memiliki istri yang berasal dari Kabupaten Kupang dan tiga orang anak. Mereka tinggal di Kelurahan Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang.
Selama 19 tahun bertugas, dirinya baru empat kali pulang ke rumah kedua orangtuanya di Timika, Papua.
Pengabdian tanpa batas dari seorang Salamba semata-mata untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tokoh masyarakat Desa Buraen Kris Tnunay (55) mengatakan, sejak awal dia dan keluarganya mendukung adanya radar. Hal itu ditunjukan dengan mereka menampung para personel yang bertugas di rumah mereka.
Bahkan orangtuanya menghibahkan sebagian tanah milik mereka untuk pembanguan markas Radar Buraen.
"Kalau bapa saya waktu itu, jika untuk kepentingan umum maka beliau setuju. Sekitar satu hektar tanah diberikan untuk pembangunan markas," kata Kris.
Selama ini hubungan antara personel radar dan masyarakat sangat baik. Setiap hajatan di kampung, selalu diundang dan personel pasti hadir.
Kehidupan masyarakat dengan TNI selalu akur dan tidak ada konflik. Kris dan warga lainnya menganggap personel radar seperti saudara mereka sendiri.
Selain itu peran Babinpotdirga juga terasa bagi warga Buraen. Karena Salamba selalu berbaur dengan masyarakat. Jika ada konflik antar warga, saat Salamba hadir maka persoalan akan diselesaikan dengan baik.
Kris mengaku, dengan kehadiran markas radar, ada wajah pembangunan di desa mereka. Jika dulunya hanya hutan belantara, sekarang sudah banyak rumah yang dibangun.
Warga juga kerap mendapat bantuan sembako dan pemeriksaan kesehatan gratis. Saat hari raya kurban, warga setempat juga mendapat daging.
"Jadi, personel radar datang bukan fokus di pertahanan tapi juga bermasyarakat," ujar Kris.
Satuan Radar 226 Buraen merupakan markas pemantauan pertahanan udara yang berada di bawah administrasi Kosek II Makassar, Sulawesi Selatan.
Lokasinya berjarak sekitar 53 kilometer sebelah tenggara dari Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT.
Komandan Satuan Radar 226 Buraen Letkol Lek Dhani Iskandar, yang ditemui di kantornya, mengatakan, markas pemantau tersebut sudah berdiri melayani pertahanan udara nasional sejak 1999.
Keberadaan Radar Buraen lanjut Dhani, karena diprediksi meningkatnya eskalasi ancaman terhadap keamanan di wilayah udara NTT pasca jajak pendapat di daerah Timor-Timor (Timor Leste), yang saat itu mau memisahkan diri dari Indonesia.
Eskalasi itu tentu mengakibatkan meningkatnya pelanggaran wilayah udara NTT oleh pesawat-pesawat asing.
"Untuk mengantisipasi itu, berdasarkan instruksi Panglima TNI pada tanggal 5 Juni 1999 dilaksanakan pergeseran alusista radar dari Lanud (Pangkalan Udara) Iswahyudi Madiun ke Lanud Eltari Kupang," ujar Dhani.
Pemindahan lokasi ke Buraen, karena posisinya menghadap langsung ke samudera yang berbatasan dengan Australia yang saat itu mempunyai kepentingan di Timor Timur.
Dia menyebut, posisi tersebut akan memaksimalkan radar untuk memantau wilayah udara yang dimungkinkan datang dari Australia menuju daerah konflik yaitu Timor Timur.
Tim survei dari Mabes TNI AU, lalu diturunkan untuk meninjau lokasi, dengan harapan memperoleh titik koordinat yang strategis dari aspek operasional maupun kemampuan dukungan lainnya.
Saat berada di Desa Buraen, ternyata ada masyarakat yang pro dan kontra terhadap rencana pembangunan instalasi radar.
Dengan demikian, perselisihan antara dua kelompok itu dimediasi dalam bentuk perundingan dan perjanjian damai.
Akhirnya tercapai kesepakatan dengan perjanjian dari pihak TNI AU memberikan "uang sirih pinang" (simbol adat masyarakat Suku Timor) sebesar Rp 35 juta (Rp 2,5 juta per kepala keluarga).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya