DUBAI, kota di Uni Emirat Arab (UEA) yang menarik perhatian semua orang beberapa dekade terakhir.
Kota ini bertumbuh dengan cepat, diiringi terbangunnya gedung-gedung pencakar langit tertinggi di dunia, menjadi pusat hiburan nomor satu, dan memiliki sistem metro otomatis terpanjang di dunia.
Kota ini menjelma menjadi pusat perdagangan, investasi hingga pariwisata yang paling diminati saat ini. Kota ini begitu strategis karena secara geografis menjadi hub perdagangan antara Asia, Afrika, dan Eropa.
Namun, semua sorotan gegap gempita itu teralihkan oleh kejadian abnormal dalam sehari, cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir di Dubai. Ironi di negara gurun yang kering, limpahan air yang turun tak mampu dibendung.
Penyebabnya pada 16 April lalu, curah hujan ekstrem melanda Dubai selama 24 jam. Kota ini biasanya kering, hanya memiliki rata-rata curah hujan berkisar 140-200 mm per tahun.
Namun, pada saat itu curah hujan yang turun mencapai 254 mm hanya dalam 24 jam, merupakan yang tertinggi dalam 75 tahun terakhir.
Hujan lebat membuat sejumlah kota lumpuh, jalan-jalan besar yang dilintasi oleh mobil mewah akhirnya terendam.
Bandara Internasional Dubai yang begitu ramai lalu lintas pesawat turut tergenang, akibatnya sejumlah penerbangan harus ditunda, bahkan dibatalkan. Kegiatan belajar dan perkantoran dilaksanakan secara daring.
Tak lama berselang, terjadi perdebatan di media sosial, isu yang keliru menyebutkan cuaca ekstrem ini terjadi akibat penyemaian awan yang telah dilakukan.
Warganet tak habis pikir bagaimana negara yang memiliki iklim kering, suhu relatif tinggi, dan rendahnya curah hujan harus menghadapi bencana alam berupa banjir yang menggenang seluruh kota.
Faktanya, sebelum terjadinya banjir tidak dilakukan pembibitan awan buatan dan para ahli menyebutkan hujan buatan yang dilakukan sekalipun hanya akan berdampak kecil pada kehadiran badai.
Studi terbaru menunjukkan bahwa curah hujan tahunan dapat meningkat hingga 30 persen di kawasan Uni Emirat Arab pada akhir abad ini, akibat dari pemanasan global yang semakin parah.
Ditambah lagi karena kondisi geografis yang kering, Dubai belum mempersiapkan daerahnya untuk bencana hidrometeorologi. Hal ini terindikasi pada buruknya sistem drainase di kota ini.
Kondisi ini mungkin menjadi ironi bagi kota super megah dan super modern seperti Dubai dengan teknologi temuktahir yang disematkan dalam kota, belum mampu memitigasi bencana akibat krisis iklim.
Evaluasi bagi kita semua, tidak ketinggalan pula kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Semarang yang menjadi langganan banjir, serta Banjarmasin yang sering tergenang, betapa begitu rentannya kota terhadap bencana alam dan bagaimana sistem perkotaan menjadi lumpuh dengan mudahnya. Hal ini tentunya akan semakin bertambah parah, seiring krisis iklim yang terjadi saat ini.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya