KOMPAS.com - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, ketersediaan transportasi umum di Jakarta sudah setara dengan kota-kota besar di dunia, terutama sejak layanan TransJakarta diluncurkan 20 tahun silam.
"2004 itu menurut saya jadi awal kebangkitan transportasi di Jakarta, dimulai dari TransJakarta. Meski pro-kontranya cukup tinggi, tapi setelah 20 tahun, sekarang sudah tampak hasilnya," kata Djoko di Jakarta, Minggu (9/6/2024), sebagaimana dilansir Antara.
Dalam Talkshow: Digitalisasi dan Integrasi Transportasi Jakarta: Nyaman, Cepat, dan Harga Terjangkau yang digelar dalam rangkaian Jakreatifest 2024, Djoko menyebutkan TransJakarta telah melingkupi 88,2 persen nilai Jakarta dari sisi pelayanan.
Baca juga: Transportasi Cerdas Jadi Solusi di Perkotaan, Mulai dari Jakarta
"Misalnya saja, dari satu pusat perbelanjaan, masyarakat bisa menemukan satu halte bus dengan jarak tidak sampai 500 meter dari lokasi mal," katanya.
Kendati cakupannya luas, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini berujar masyarakat yang beralih ke transportasi umum masih sangat rendah.
"Orang kita beralihnya agak susah, jadi walaupun sudah mengkaver 88,2 persen, bahkan ada Mikrotrans sampai ke kampung-kampung dan gratis, yang beralih baru hanya 10 persen," imbuhnya.
Djoko mengatakan, selain ketersediaan layanan bus TransJakarta, Jakarta juga memiliki layanan MRT dan LRT serta kereta rel listrik dan LRT dari kawasan penyangga.
Baca juga: Forum ITS 2024 Teken Tiga Inisiatif Transportasi Berkelanjutan
Selain itu, ada pula layanan bus JR Connexion hingga Mikrotrans untuk melayani masyarakat dari kawasan permukiman.
"Kalau dibanding dengan kota dunia lainnya sudah sama karena coverage-nya (cakupannya) sudah cukup bagus," ujarnya.
Namun, menurut Djoko, masalah krusial yang dihadapi Jakarta serta kota-kota lain di Indonesia adalah sepeda motor.
Ia menilai, keberadaan sepeda motor membuat masyarakat Indonesia menjadi malas berjalan kaki. Padahal, pemerintah kerap melakukan revitalisasi trotoar untuk pejalan kaki.
Baca juga: ITS Asia Pacific Forum 2024, Dorong Transportasi Cerdas dan Berkelanjutan
Di sisi lain, keberadaan sepeda motor juga dinilainya telah menyedot subsidi energi. "Pemerintah pusat perlu mengendalikan motor, karena subsidi BBM kita Rp 150 triliun itu 84 persennya untuk sepeda motor," katanya.
Djoko juga menyebutkan hingga saat ini pemerintah belum tegas untuk mengendalikan sepeda motor dan mendukung penggunaan angkutan umum.
Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta menyebutkan, 997.669 kendaraan bermotor dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) masuk ke Jakarta setiap harinya.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 77,2 persen di antaranya merupakan kendaraan roda dua.
Selain berimbas pada kemacetan, kendaraan bermotor pribadi juga memberi dampak polusi dan pencemaran udara.
Baca juga: Elektrifikasi Transportasi Perkotaan Kurangi Emisi GRK dan Polusi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya