Eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam yang begitu masif dan diiringi dengan pembukaan lahan yang begitu cepat membuat kondisi lingkungan semakin terdegradasi, tak terkecuali di area perkotaan.
Laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC menyatakan, pemanasan global dan naiknya suhu laut memunculkan masalah baru seperti kekeringan hebat, kelangkaan dan penurunan kualitas air, maraknya kebakaran hutan, bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, dan perubahan pola cuaca atau terjadinya cuaca ekstrem.
Merujuk data BPS tahun 2020 bahwa 56,7 persen populasi penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan, dan pada 2035 diprediksi mencapai 66,6 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas penduduk Indonesia hidup pada kerentanan terhadap wilayah perkotaan dengan segenap masalah yang dihadapinya. Urbanisasi yang tak terelakkan menjadikan kota-kota bertumbuh dengan tak tertata.
Rebakan urban (urban sparwl) sudah terlihat dari perkembangan di wilayah Banjarmasin. Rebakan urban mulai menggerus daerah tangkapan air dan lahan pertanian yang aktif menjadi bangunan perumahan maupun properti lainnya.
Permasalahan utama di perkotaan nantinya akan berkaitan dengan kondisi lingkungan seperti: Pencemaran udara, kebisingan dan kekurangan air bersih, menipisnya sumber pangan, dan ketergantungan terhadap energi.
Tak lupa pula adanya kesenjangan sosial dan ketimpangan kemiskinan yang tak terhindarkan, sehingga perlu tata kelola pemerintahan dan perencanaan yang baik untuk mengatasi perluasan kota.
Tren kepala daerah saat ini berlomba untuk membangun proyek infrastruktur skala besar untuk menjadikan “warisan” yang akan ditinggalkan selepas menjabat.
Tanpa perencanaan yang matang akan manfaat untuk jangka panjang, baik bagi warga kota maupun ekosistem lingkungan di sekitar.
Jangan sampai kita membangun begitu megahnya kota, tapi tidak mampu beradaptasi terhadap krisis iklim, dan malah cenderung memperparah bencana yang akan datang.
Contohnya kita membangun monumen yang indah dipandang mata, tempat selfie dan menjadi ikon kota, tetapi manfaatnya hanya sebatas itu saja.
Mengapa kita tak membangun dan memperluas ruang terbuka hijau hingga lebih 30 persen luas kota, ditempatkannya taman untuk berkumpul warga kota, menjadikannya hutan kota sebagai paru-paru kota, menjadi instrumen pengendali banjir, penyediaan air bersih dan menjadi prasarana pembelajaran bagi pelajar dan mahasiswa, serta di masa mendatang dapat mengatasi krisis iklim.
Atau bagaimana pemimpin daerah lebih senang mempermulus jalan kota dibandingkan membenahi atau membangun fasilitas drainase.
Drainase yang buruk membuat jalan-jalan itu tergenang, membahayakan bagi pengguna jalan ketika hujan, mempercepat kerusakan jalan, dan mengurangi kebersihan kota.
Cukup kiranya kita belajar dari kemegahan Dubai, bagaimana kota yang begitu dikagumi oleh dunia ternyata terpuruk hanya karena curah hujan yang tinggi selama satu hari.
Tata kelola pemerintahan yang baik diperlukan agar dapat melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, karena seperti bom waktu, kita tak akan tahu seperti apa dampak krisis iklim terjadi di kota kita.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya