KOMPAS.com - Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Ghee Peh mengingatkan para pemangku kepentingan terkait risiko greenwashing dari rencana investasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive.
Greenwashing adalah strategi pemasaran dan komunikasi untuk memberikan citra yang ramah lingkungan akan tetapi palsu belaka.
Sedangkan PLTU batu bara captive adalah pembangkit yang dioperasikan dan dimiliki oleh perusahaan tertentu untuk menyuplai kebutuhan listriknya sendiri.
Baca juga: PLTU Captive Tantangan Utama Dekarbonisasi Ketenagalistrikan Indonesia
"Kami meyakini bahwa PLTU captive akan menjadi pendorong utama permintaan batu bara Indonesia di masa mendatang," ujar Peh dalam keterangan resminya, sebagaimana dilansir Antara, Kamis (13/6/2024).
Peh menyoroti pembangunan PLTU batu bara captive untuk suplai tenaga listrik bagi produksi nikel dan alumunium di Indonesia
"Meski Pemerintah Indonesia mendorong produksi nikel dan aluminium untuk mendukung transisi energi, penting juga untuk menyadari potensi risiko greenwashing dari rencana investasi PLTU captive," kata Peh.
Dalam laporan sebelumnya, Peh mengungkapkan terdapat total rencana pembangunan PLTU captive dengan kapasitas 21 gigawatt di seluruh Indonesia.
Baca juga: Percepatan EBT dan Pensiun PLTU Akhiri Beban Subsidi Setrum Negara
Angka tersebut setara setengah dari total kapasitas PLTU batu bara nasional pada 2023 sebesar 40,7 GW.
Peh juga menghitung, PLTU captive yang saat ini sudah beroperasi mencapai 13 GW atau setara 32 persen dari total kapasitas PLTU nasional pada 2023.
Tambahan kapasitas 21 GW diperkirakan menaikkan porsi PLTU captive hingga 52 persen dari total kapasitas pembangkit listrik Indonesia pada 2023.
Di sisi lain, Indonesia hanya mempunyai waktu kurang dari tujuh tahun untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris, yakni memangkas emisi karbon dioksida hingga 32 persen pada 2030.
Baca juga: Teknologi PLTU di Indonesia Mampu Serap Target Co-firing Biomassa
"Prospek pertumbuhan masif PLTU baru kemungkinan akan menimbulkan kekhawatiran di antara anggota Just Energy Transition Partnership (JETP)," tutur Peh.
Lantaran memiliki intensitas karbon yang tinggi, Peh meyakini PLTU captive yang dioperasikan oleh pelaku industri dapat menghambat komitmen dekarbonisasi dan transisi energi yang ditetapkan dalam kesepakatan JETP senilai 20 miliar dollar AS.
Selain itu, Pemerintah Indonesia melalui dokumen penurunan emisi nasional atau Nationally Determined Contributions (NDC) yang merupakan mandat Perjanjian Paris, memiliki komitmen untuk menurunkan emisi karbon dioksida 32 persen pada 2030.
"Rencana investasi baru di sektor batu bara diragukan akan membantu upaya Indonesia mencapai target tersebut tepat waktu," kata Peh.
Baca juga: Menkeu Ungkap RI Segera Pensiunkan PLTU Batu Bara Berkapasitas 660 MW
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya