KOMPAS.com - Pertumbuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive dinilai menjadi tantangan utama dalam melakukan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan Indonesia.
Hal tersebut mengemuka dalam studi terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability (CGS) Universitas Maryland.
PLTU batu bara captive adalah pembangkit yang dioperasikan dan dimiliki oleh perusahaan tertentu untuk menyuplai kebutuhan listriknya sendiri.
Baca juga: Percepatan EBT dan Pensiun PLTU Akhiri Beban Subsidi Setrum Negara
Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah mengeluarkan regulasi untuk mempercepat pensiun PLTU batu bara melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022.
Akan tetapi, peraturan tersebut mengecualikan PLTU batu bara captive.
Pada 2023 saja, di Indonesia terdapat 15 gigawatt (GW) PLTU batu bara captive yang beroperasi. Angka tersebut mewakili 28 persen dari total kapasitas terpasang seluruh PLTU batu bara di Indonesia.
Setelah 2025, dengan dimulainya proyek-proyek lain, PLTU batu bara captive akan menyumbang 34 persen dari total kapasitas terpasang seluruh PLTU batu bara.
Baca juga: Teknologi PLTU di Indonesia Mampu Serap Target Co-firing Biomassa
Dalam studi sebelumnya, ada dua tantangan besar dalam upaya pensiun dini atau penghentian bertahap PLTU batu bara di Indonesia.
Pertama, kapasitas PLTU batu bara captive diproyeksikan tumbuh selaras dengan model pertumbuhan ekonomi pemerintah, yang mencakup perluasan kawasan industri dan pertambangan mineral penting.
Kedua, penggantian PLTU batu bara dengan energi terbarukan atau alternatif rendah karbon terkadang mahal, dan menghadapi permasalahan seperti preferensi pemanfaatan lahan dan ketersediaan sumber daya.
Studi tersebut merekomendasikan agar perluasan PLTU batu bara captive di Indonesia mesti ditekan dan dipensiunkan, salah satunya dengan membatalkan proyek pada tahap pra-konstruksi.
Baca juga: PLN: Co-Firing PLTU Manfaatkan Limbah Biomassa
Dengan membatalkan proyek sebesar 2,6 GW pada tahap pra-konstruksi, emisi PLTU batu bara captive dapat mencapai puncaknya 106 megaton karbon dioksida ekuivalen pada 2025 dan mencapai pengurangan terbatas 2 persen dari puncaknya pada 2030.
Dalam jangka pendek, pengurangan emisi dapat dicapai dengan menerapkan co-firing atau pembakaran dengan campuran biomassa di PLTU batu bara captive.
Selain itu, pembatalan proyek PLTU batu bara captive dapat diganti dengan energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Antara tahun 2025 hingga 2050, penerapan co-firing biomassa pada 80 unit yang memenuhi syarat sebesar 13 GW berkontribusi terhadap sekitar setengah dari pengurangan emisi kumulatif.
Penggantian 16 unit PLTU batu bara captive dengan kapasitas 2,5 GW dengan PLTS dapat berkontribusi terhadap 26 persen dari total pengurangan emisi.
Baca juga: Baterai Makin Murah, PLTS Jadi Lebih Ekonomis daripada PLTU
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya