Pada 2020, Indonesia mengekspor 390 juta ton batu bara. Dalam konteks itulah masyarakat internasional berkepentingan terhadap transisi energi di Indonesia.
Namun, transisi energi bukankah program murah. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Indonesia memerlukan dana sebesar 5,7 miliar dollar AS atau setara Rp 81,58 triliun untuk membiayai transisi energi bersih.
Besarnya pembiayaan transisi energi di Indonesia membuat risiko korupsi menjadi relevan untuk didiskusikan dalam proyek transisi energi di Indonesia.
Risiko korupsi di sektor transisi energi memiliki relasi dengan kertebukaan informasi. Semakin program transisi energi tidak transparan, semakin rentan dengan korupsi.
Sebaliknya, semakin terbuka program transisi energi, semakin kecil kemungkinan terjadi korupsi. Dengan keterbukaan informasi, publik dapat megawasi program transisi energi itu.
Di KTT G20 di Bali tahun 2022, Indonesia berhasil menggalang pendanaan transisi energi di Indonesia dari negara-negara maju yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang.
Skema pendanaan itu bernama Just Energy Transition Partnership (JETP). Negara-negara maju berjanji memberikan pendanaan sebesar 20 miliar dollar AS.
Di tengah praktik korupsi yang masih marak di negeri ini, pertanyaannya adalah apakah uang miliaran dollar AS itu juga akan selamat dari praktik korupsi?
Jawaban dari pertanyaan itu beragam, bisa iya dan tidak. Uang transisi energi akan selamat dari praktik korupsi bila dibangun sistem anti-korupsi sejak dalam perencanaan. Namun, bisa juga sebaliknya, jika sejak awal tidak dibangun sistem anti-korupsi.
Salah satu sistim anti-korupsi adalah transparansi. Korupsi adalah kegiatan pencurian yang menguntungkan pihak tertentu.
Pelaku pencurian tentu tidak akan bisa beraksi di tengah sistem yang transparan dan terang benderang.
Pelaku pencurian akan beraksi di dalam ruang gelap hingga tidak ada orang yang bisa melihat apapun yang terjadi di ruang itu.
Dari sini mulai terbangun relasi antara sistem anti-korupsi dan demokrasi. Demokrasi dan sistem anti-korupsi sama-sama mensyaratkan transparansi dan keterlibatan aktif masyarakat untuk mengontrol para pengambil kebijakan.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana tata kelola transisi energi di Indonesia? Sudahkah terang benderang dan terbuka bagi keterlibatan publik secara luas?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa berkaca pada skema JETP. Seperti banyak di beritakan di berbagai media massa, JETP diluncurkan saat KTT G20 di Bali tahun 2022.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya