KOMPAS.com - Perubahan iklim dan kerawanan pangan merupakan salah satu tantangan besar bagi sektor pertanian di Indonesia.
Gangguan terhadap kedua sektor tersebut akan menimbulkan permasalahan di tengah masyarakat dan mengancam target pembangunan nasional.
Oleh karena itu, pertanian cerdas iklim menjadi solusi dalam mengembangkan pertanian yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.
Baca juga: Suara ADBI soal Komitmen G7 Atas Perubahan Iklim, Kesehatan, Kesejahteraan dan Pertanian
Dalam hal ini, agrobisnis berperan penting untuk menggenjot inovasi pertanian yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus meningkatkan ketahanan petani terhadap perubahan iklim.
Keterlibatan agrobisnis dalam pertanian cerdas iklim secara konstruktif juga dapat mendukung pemerintah memenuhi target nasional pengurangan emisi karbon.
Salah satu bentuk dari pertanian cerdas iklim adalah benih padi cerdas iklim yang dikembangkan PT Botani Seed Indonesia, perusahaan milik IPB University.
Direktur PT Botani Seed Indonesia Dadang Syamsul Munir mengungkapkan, pengembangan benih padi cerdas iklim dapat mengurangi kebutuhan pupuk dan air sehingga dapat mengurangi biaya perawatan padi.
“Benih cerdas iklim memiliki produktivitas tinggi namun low cost. Hal ini karena penggunaan pupuk lebih sedikit dan pemanfaatan air lebih efisien,” kata Dadang dalam konferensi pers “Inovasi Agrobisnis Melalui Pertanian Cerdas Iklim” di Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Keunggulan-keunggulan tersebut, menjadikan benih inovasi lebih adaptif terhadap perubahan iklim karena mampu mengurangi produksi emisi GRK. Tak hanya itu, benih cerdas iklim juga adaptif terhadap iklim kering.
Baca juga: 15 Danau di Indonesia Kritis, Tercemar Pupuk Pertanian
Adapun pada tahun lalu, Dadang menywbut penjualan dari benih cerdas iklim dapat mencapai 300 ton.
Sementara itu, PRISMA, program kemitraan antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas dan Pemerintah Australia melalui Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), menawarkan benih jagung adaptif.
Perwakilan dari PRISMA Medhat Kemal mengatakan, PRISMA bekerja sama dengan produsen benih jagung di NTT dalam mengembangkan ketersediaan benih jagung adaptif iklim kering di pasar komersial.
Salah satunya adalah benih jagung varietas Lamuru dan Jakarin yang merupakan hasil penelitian dari Balai Pengujian Standar Instrumen Tanaman Serealia Maros.
Menurutnya, kedua varietas tersebut sesuai untuk kondisi NTT dengan lahan dan iklim kering, dengan angka rata-rata produktivitas mencapai 7 ton per hektar.
Tak hanya benih, bentuk pertanian cerdas iklim yang dilakukan lainnya adalah pengembangan produk pupuk berbasis mineral organik yang ramah lingkungan dan dapat mengurangi produksi gas metana, yang diproduksi oleh PT Agrotama Tunas Sentosa.
PT Agrotama Tunas Sentosa menjualnya dengan merek Gypsum Polyhalite Silica (GPS).
Baca juga: Setiap Kenaikan Suhu 1 Derajat, Produktivitas Pertanian Turun 10 Persen
Direktur PT Agrotama Tunas Sarana Eddyko menjelaskan, pupuk ramah lingkungan ini berasal dari cangkang kerang-kerangan dan sedimen diatom yang ditambang tanpa proses kimiawi, sehingga lebih aman bagi tanaman dan lingkungan.
“Pupuk ini mengandung unsur hara makro sekunder yang dapat membantu meningkatkan kesehatan dan hasil tanaman serta memperbaiki dan menjaga kesuburan tanah,” jelas Eddyko.
Penggunaan pupuk ini, kata dia, juga mampu menetralkan keasaman tanah sehingga menghambat pertumbuhan bakteri metanogenik yang menghasilkan gas metana.
Eddyko menambahkan, PT Agrotama Tunas Sarana berkolaborasi dengan petani kunci bawang merah dan Dinas Pertanian Sumatera Utara dalam mendorong adopsi penggunaan pupuk komersil berbasis mineral-organik, yang bisa meningkatkan hasil panen, memperbaiki kondisi tanah, dan menekan pencemaran lingkungan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya