KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memberikan akses kelola perhutanan sosial kepada masyarakat mencapai 7,087 juta hektare hingga Mei 2024.
Sementara itu, target pemberian akses kelola perhutanan sosial dalam Peraturan Presiden (Peraturan) Nomor 28 tauh 2023 adalah 12,7 juta hektare pada 2030.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, luasan tersebut mencakup 10.232 unit persetujuan perhutanan sosial dengan melibatkan 1,3 juta kepala keluarga di seluruh Indionesia.
Baca juga: Respons All Eyes on Papua, KLHK Proses Status Hutan Adat di Boven Digoel
Dia menambahkan, perhutanan sosial menjadi kebijakan afirmatif pemerintah untuk mewujudkan pemerataan ekonomi.
"Tidak hanya berupa pemberian akses kelola hutan, tetapi juga berupaya mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kesempatan berusaha berupa akses permodalan dan pasar," kata Siti dalam Workshop Sinergi Perhutanan Sosial yang diikuti secara daring, Kamis (20/6/2024).
Dia menambahkan, sampai saat ini telah terbentuk 13.460 kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yang sudah melakukan pengelolaan dan usaha pemanfaatan hutan berdasarkan potensinya.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian LHK Mahfudz menyampaikan, perhutanan sosial merupakan program penting dalam memberdayakan masyarakat di sekitar hutan.
Dia menyampaikan, lebih dari 25.000 desa di Indonesia bersinggungan dengan hutan. Dari jumlah tersebut, sayangnya 36,7 persen di antaranya masih dalam kondisi miskin.
Baca juga: Sedekah Hutan UI Dorong Pelestarian Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal
Dalam paparannya Mahfudz menyebutkan, perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara, hutan hak, atau hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat.
Dia menambahkan, ada tiga pilar yang harus diperhatikan dalam pengelolaan perhutanan sosial yakni pilar sosial, pilar ekologi, dan pilar ekonomi.
"Dalam pilar sosial, ada pembentukan kelembagaan dengan proses pengelolaan hutan atas dasar hak dan kewajiban masyarakat," ucap Mahfudz.
Sementara dalam pilar ekologi, pemanfaatan pehutanan sosial dilakukan dalam bentuk klaster komoditas yang dikembangkan masyarakat, contohnya agroforestry.
Dengan pemanfaatan tersebut dapat memberikan perekonomian yang berkelanjutan kepada masyarakat.
Baca juga: Hutan Lindung yang Mencemaskan
Sedangkan dalam pilar ekonomi yakni menjamin bisnis berbasis komoditas bisa berlangsung dengan baik.
"Saya kira tiga pilar ini menjadi penting yg dilakukan," papar Mahfudz.
Selain memberdayakan masyarakat, Mahfudz menuturkan perhutanan sosial juga mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Mahfudz berujar, setidaknya ada lima dari 17 tujuan SDGs yang dapat didukung oleh perhutanan sosial.
Kelima tujuan tersebut adalah tujuan nomor 1 tanpa kemiskinan, tujuan nomor 2 tanpa kelaparan, tujuan nomor 5 kesetaraan gender, tujuan nomor 8 pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak, serta tujuan nomor 13 penanganan perubahan iklim.
Baca juga: Separuh Hutan Mangrove di Dunia Terancam Rusak karena Ulah Manusia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya