UNDANG-undang (UU) No 26/2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan kawasan hutan sebagai kawasan lindung adalah kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung.
Menurut UU No 41/1999, pasal 6 ayat (2) pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan konservasi.
Menurut data dari KLHK dalam bukunya “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit tahun 2020, luas hutan Indonesia 120,3 juta hektare, yang terdiri dari hutan konservasi 21,9 juta ha, hutan lindung 29,6 juta ha, dan hutan produksi 68,8 juta ha.
Hutan lindung yang luasnya 29,9 juta ha itu pada kenyataannya di lapangan terdiri dari yang mempunyai tutupan hutan 24 juta ha (hutan prmer 15,9 juta ha, hutan sekunder 7,8 juta ha dan hutan tanaman 0,3 juta ha) dan tidak mempunyai tutupan hutan seluas 5,6 juta ha.
Kawasan lindung (selain kawasan bergambut dan kawasan resapan air) yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya adalah kawasan hutan lindung.
Salah satu fungsi kawasan hutan yang terabaikan dan mencemaskan adalah hutan lindung. Hutan lindung nampaknya kurang menarik dan seksi untuk dibahas karena nilai ekonomisnya lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekologisnya.
Oleh karena itu, hutan lindung di banyak daerah kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah setempat (pemda provinsi/kabupaten/kota), apalagi pemerintah pusat.
Terdapat suatu kecenderungan dari tahun ke tahun, hutan lindung mengalami degradasi dan deforestasi yang masif dan cepat.
Berdasarkan fungsinya, sebaran deforestasi dalam kawasan hutan terbagi dalam 23,3 juta ha hutan produksi, 5,6 juta ha hutan lindung, dan 4,5 juta ha di hutan konservasi.
Meskipun kerusakan hutan lindung sebarannya nomor dua setelah hutan produksi, namun dampak ekologisnya terhadap lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kerusakan hutan produksi.
Contohnya, banjir dan banjir bandang yang terjadi sekitar Danau Toba dan sekitarnya diakibatkan adanya kerusakan hutan lindung di daerah hulunya (kawasan daerah tangkapan airnya).
Hampir sebagian besar sungai yang terdapat di Jawa, seperti Bengawan Solo, Berantas, Citanduy dan sebagainya, rata-rata telah terjadi kerusakan yang cukup parah pada hutan lindung yang berada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut.
Mengacu kelahiran regulasi kehutanan, dari tiga jenis fungsi hutan, yakni hutan konservasi, lindung, dan produksi, posisi hutan lindung abu-abu.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, hanya hutan lindung yang tidak mempunyai turunannya (derivative) sebagaimana hutan konservasi dan hutan produksi.
Dalam UU Kehutanan tak ditemukan adanya penjelasannya. Juga tak ada di PP 44/2004, maupun PP 23/2021,selain hanya arti dan pengertiannya, serta kriteria penetapannya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya