KOMPAS.com - Menurut penelitian terbaru, polusi udara menjadi pembunuh manusia terbanyak nomor dua di dunia setelah tekanan darah tinggi.
Berdasarkan laporan berjudul State of Global Air (SoGA) yang dirilis pada Selasa (18/6/2024) tersebut, sekitar 8,1 juta kematian di dunia terkait dengan polusi udara.
Dari angka tersebut, 709.000 diantaranya adalah bayi di bawah lima tahun (balita), mewakili 15 persen dari seluruh kematian global pada kelompok usia ini.
Baca juga: Sistem Transaksi Tol MLFF Bisa Kurangi Kemacetan hingga Polusi Udara
Lebih dari 70 persen angka kematian tersebut terkait dengan polusi udara rumah tangga, yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar kotor dan kompor berbahan bakar padat yang melepaskan polutan berbahaya.
Polusi udara dalam ruangan yang menyebabkan hampir 4 juta kematian dini setiap tahunnya terkait langsung dengan kesenjangan dan kemiskinan, sebagaimana dilansir Earth.org.
Sejauh ini, masih ada sekitar 3 miliar orang yang menggunakan bahan bakar yang tidak bersih dan mereka tinggal di negara-negara termiskin di dunia yang tersebar di Afrika, Amerika Latin, Asia.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kurang dari 1 persen wilayah daratan global memiliki tingkat polusi udara yang aman.
Baca juga: Elektrifikasi Transportasi Perkotaan Kurangi Emisi GRK dan Polusi
WHO memperbarui pedoman kualitas udaranya pada 2021, menetapkan batas aman PM2,5 24 jam sebesar 15 mikrogram per meter kubik dan ambang batas tahunan sebesar 5 mikrogram per meter kubik.
Menurut laporan tersebut, 48 persen kematian akibat polusi udara disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronis, 30 persen disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah, dan 28 persen disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, dimana negara-negara di Asia Selatan dan Afrika menghadapi beban penyakit tertinggi.
Laporan tersebut menemukan bahwa masyarakat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah terpapar PM2,5 yang parah, 1,3 sampai 4 kali lebih tinggi.
Selain menyebabkan jutaan kematian dini dan penyakit, terdapat semakin banyak bukti di kalangan komunitas ilmiah bahwa polusi udara dapat berdampak buruk pada aspek lain dari kesehatan dan kesejahteraan manusia, seperti fungsi kognitif.
Beberapa penelitian menemukan, udara yang tercemar seringkali menghambat atau menurunkan kemampuan kognitif mereka yang sering terpapar polusi.
Baca juga: Keputusan Pengadilan Maritim PBB: Emisi Karbon Jadi Polusi Lautan
Dampak polusi udara terhadap lingkungan juga sangat besar dan mengkhawatirkan. Mulai dari hujan asam, cacat lahir, kegagalan reproduksi, dan penyakit pada satwa liar.
Hujan yang sangat tercemar juga dapat membahayakan pertanian, karena membuat tanaman lebih rentan terhadap penyakit akibat meningkatnya radiasi ultraviolet yang disebabkan oleh penipisan ozon.
Salah satu penyumbang polusi udara terbesar adalah bahan bakar fosil, berkontribusi lebih dari 75 persen emisi gas rumah kaca global dan hampir 90 persen dari seluruh emisi karbon dioksida.
Permintaan global terhadap minyak, gas alam, dan batu bara terus meningkat meski ada seruan untuk mengakhiri ketergantungan terhadap pada sumber-sumber energi tersebut.
Pada 2023, emisi karbon dioksida global mencapai angka tertinggi dalam sejarah, yaitu 37,4 miliar ton, di mana emisi dari batu bara menyumbang lebih dari 65 persen peningkatan tersebut.
Baca juga: Waspada: Saat Bernapas, Partikel Kecil Polusi Plastik Bisa Terhirup
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya