KOMPAS.com - Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut atau ITLOS memutuskan emisi dari bahan bakar fosil dan gas-gas penyebab pemanasan bumi lainnya yang diserap oleh lautan dianggap sebagai polusi laut.
Keputusan pengadilan maritim PBB pada Selasa (21/5/2024) tersebut dianggap sebagai sebuah terobosan besar bagi negara-negara kepulauan kecil yang terancam oleh kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh pemanasan global.
Keputusan tersebut juga menyatakan bahwa negara-negara harus melampaui persyaratan Perjanjian Paris tahun 2015 untuk melindungi lingkungan laut dan negara-negara yang bergantung padanya.
Baca juga: Waspada: Saat Bernapas, Partikel Kecil Polusi Plastik Bisa Terhirup
Sebelumnya, kasus tersebut dibawa ke meja hijau oleh sembilan negara kepulauan dari Karibia dan Pasifik yakni Bahama, Palau, Niue, Vanuatu, St Lucia, St Vincent dan Grenadines, Antigua dan Barbuda, Tuvalu, serta St Kitts dan Nevis.
"Apa yang terjadi hari ini adalah hukum dan ilmu pengetahuan bertemu di pengadilan ini, dan keduanya menang,” kata Duta Besar Bahama untuk Uni Eropa Cheryl Bazard, sebagaimana dilansir Reuters.
Pengadilan menyatakan, negara-negara mempunyai kewajiban hukum untuk memantau dan mengurangi emisi yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan menetapkan persyaratan khusus untuk penilaian dampak lingkungan.
Pengadilan juga menyatakan, target negara-negara untuk mengurangi emisi rumah kaca harus ditetapkan secara obyektif berdasarkan sains serta peraturan dan standar internasional yang relevan, sehingga menetapkan standar yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
Baca juga: Negosiasi Perjanjian Polusi Plastik Berjalan Alot, Tersisa 7 Bulan Capai Kesepakatan Akhir
Untuk diketahui, negara-negara kepulauan kecil dengan kekuatan ekonomi yang terbatas sangatla rentan terhadap perubahan iklim.
Namun selama ini, mereka merasa diabaikan oleh berbagai pertemuan tingkat tinggi global dengan bunga-bunga janji dalam mengurangi emisi karbon.
Akan tetapi, janji-janji tersebut masih jauh dari batas minimum untuk membatasi dampak terburuk dari pemanasan global.
"Pendapat ITLOS akan memberikan masukan bagi upaya hukum dan diplomatik kita di masa depan dalam mengakhiri kelambanan tindakan yang telah membawa kita ke ambang bencana yang tidak dapat diubah," kata Perdana Menteri Antigua dan Barbuda Gaston Browne.
Baca juga: Dunia Menanti Negosiasi Perjanjian Polusi Plastik di Kanada
Direktur Centre for International Environmental Law Nikki Reisch mengatakan, putusan dari ITLOS memperjelas bahwa kepatuhan terhadap Perjanjian Paris saja tidak cukup.
Sejumlah aktivis iklim dan pengacara mengatakan, keputusan tersebut dapat memengaruhi dua pendapat mengenai kewajiban iklim negara yang menunggu keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika dan Mahkamah Internasional.
Eselealofa Apinelu mewakili Tuvalu mengatakan, putusan dari ITLOS memperjelas bahwa semua negara terikat secara hukum untuk melindungi lingkungan laut, dan negara-negara lain, dari ancaman nyata perubahan iklim.
Dia menyebut putusan tersebut sebagai langkah pertama yang penting dalam meminta pertanggungjawaban para pencemar.
Baca juga: Polusi Udara Indonesia Melonjak pada 2023, Ini Sebabnya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya