Mengutip dari pakar transportasi Sony Sulaksono Wibowo, jangan serahkan sepenuhnya masalah edukasi kepada pemerintah karena pasti tidak jalan. Peran serta masyarakat sadar jauh lebih penting.
Ia juga mengatakan bahwa membenahi angkutan umum jangan berhenti hanya di Kementerian Perhubungan. Keikusertaan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri juga diperlukan.
“Dan tidak kalah pentingnya alokasi anggaran dari Kementerian Keuangan untuk keberlangsungannya dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK),” tutur Djoko.
Djoko menilai, rendahnya pelayanan angkutan umum perkotaan di tengah ketergantungan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi, berpotensi mengurangi jumlah angkutan umum yang beroperasi.
“Banyak kota menanti kematian angkutan perkotaan secara bergiliran. Dimulai dari kota-kota kecil seperti Kota Kediri, Kota Tanjung Pandan sudah tidak memiliki layanan angkutan umum,” ujarnya.
Andai masih ada layanan angkutan umum, hanya dilayani armada angkutan yang tersisa. Usia armada rata-rata pun sudah di atas 10 tahun, bahkan ada yang di atas 15 tahun.
“Sungguh miris terjadi pembiaran terhadap kondisi yang ada. Tentunya akan mempercepat proses hilangnya pelayanan angkutan umum. Intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan pasar layanan angkutan perkotaan,” tegas Djoko.
Dalam upaya membenahi angkutan umum, ia menjelaskan bahwa sejak tahun 2020 hingga 2024, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menerapkan Program Pembelian Layanan (Buy the Service).
Baca juga: Menhub: Forum ITS Buka Peluang Pendanaan Sistem Transportasi Cerdas
Program ini berlangsung di 10 kota, yakni Palembang, Medan, Bali, Surakarta, Yogyakarta, Makassar, Banyumas, Banjarmasin, Bandung, Surabaya, serta terdapat tambahan 1 kota yakni Balikpapan pada 1 Juli 2024.
Load factor stastis dihitung berdasarkan ritase realisasi yang sudah dijalankan. Ada tiga kota dengan load factor stastis tertinggi, yaitu Surabaya (50,63 persen), Bandung (35,17 persen), dan Surakarta (28,98 persen).
Namun, masih diperlukan keterlibatan pemda terkait untuk menerapkan kebijakan push strategy agar sejumlah warga yang sering menggunakan kendaran pribadi mau beralih menggunakan angkutan umum.
“Masih banyak kawasan perumahan yang belum terlayani angkutan umum. Penyediaan layanan angkutan umum di setiap kawasan perumahan harus ada. Asumsi, setidaknya tidak lebih dari 500 meter dari tempat tinggal sudah mendapatkan layanan angkutan umum dengan penyedian halte atau bus stop,” paparnya.
Ia menjelaskan, pembenahan angkutan umum perkotaan tahun ini dengan APBN sudah ada di 14 kawasan perkotaan (termasuk 3 perkotaan di Bodetabek).
Namun, dari 416 Kabupaten dan 98 Kota di Indonesia dengan APBN dan alokasi APBD (9 kota dan 9 provinsi) yang baru terealisasi, ternyata belum mencapai dari 5 persen.
Dari 38 ibukota provinsi, selain Jakarta, baru 13 ibukota sudah mulai membenahi, seperti Banda Aceh (Trans Koetaradja), Medan (Trans Metro Deli), Padang (Trans Padang), Pekanbaru (Trans Metro Pekanbaru), Jambi (Trans Siginjai), Palembang (Trans Musi Jaya).
Lalu Bandung (Trans Metro Pasundan), Semarang (Trans Semarang), Yogyakarta (Trans Jogja), Surabaya (Trans Semanggi Surabaya, Suroboyo Bus, Wira Wiri), Denpasar (Trans Metro Dewata), Banjarmasin (Trans Metro Banjarmasin), dan Makassar (Trans Mamminasata).
“Langkah awal sudah dilakukan, namun masih perlu upaya lain mencari pendanaan pengoperasian angkutan umum selain APBN/APBD, seperti pengenaan tarif penumpang dan iklan, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), retribusi parkir, Tanggung Jawab Lingkungan Sosial (TJLS) BUMN, Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Swasta, alokasi angkutan pelajar dari Dana Pendidikan, Dana Alokasi Khusus (DAK) Angkutan Darat dari Kementerian Keuangan,” pungkas Djoko.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya