KOMPAS.com - Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menilai tak mudah untuk membenahi angkutan umum di Indonesia yang sudah lama dibiarkan tidak berkembang.
Sebagai contoh, di Kota Semarang beroperasi Bus Trans Semarang tahun 2009, setelah dirintis sejak 2005 (butuh waktu 5 tahun).
Bus Trans Jateng beroperasi tahun 2017 (butuh waktu 8 tahun), sejak 2009 dilakukan kajian, perencanaan, sosialisasi hingga pengalokasian anggaran. Pendekatan kepada operator eksisting memerlukan waktu diskusi cukup lama.
Baca juga: Transportasi Publik Perlu Terintegrasi dan Humanis
“Semua itu membutuhkan proses dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan,” ujar Djoko dalam pernyataannya, Minggu (7/7/2024).
Sementara itu, Program Pembelian Layanan (buy the service/BTS) dirintis sejak akhir tahun 2017, namun baru efektif beroperasi Juni 2020.
Program BTS pun hingga saat ini masih harus dilakukan proses penyempurnaan, agar mendapatkan model yang tepat dalam mengelola angkutan umum bersubsidi di Indonesia.
Djoko mengatakan, untuk mewujudkan angkutan umum yang humanis, masalah sosial lebih mengemuka ketimbang persoalan teknis.
“Melibatkan operator eksisiting lebih tepat, kendati memerlukan waktu untuk meyakinkan,” ujarnya.
Selain ketersediaan anggaran, kata dia, tidak kalah penting ada kemauan politik (political will) kepala daerah. Proses menggeser lebih tepat ketimbang menggusur operator yang ada.
Ia mengatakan, artinya menggeser praktek pengemudi dari setoran menjadi mendapat gaji bulanan.
Baca juga: Transportasi Cerdas Jadi Solusi di Perkotaan, Mulai dari Jakarta
Dari manajemen perorangan menjadi angkutan umum berbadan hukum, sesuai Amanah pasal 139 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Memilih bentuk koperasi dianggap lebih tepat, sehingga sekumpulan kendaraan milik pribadi dapat diakomodir.
“Layanan angkutan umum tidak bisa berdiri sendiri. Layanan yang ada harus didukung dengan edukasi, teladan, dan insentif-insentif untuk meningkatkan ridership,” ia menambahkan.
Menurut Djoko, kurang tepat jika persoalan transportasi hanya difokuskan pada satu sisi saja.
Ia mengatakan, ada tiga faktor untuk edukasi angkutan umum, yaitu dukungan komunitas, komunikasi media, dan endorsements pemerintah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya