Di antaranya, Rasulullah bersabda: “barang siapa yang menimbulkan gangguan kepada kaum muslimin di jalan-jalan mereka, pasti ia akan mendapatkan laknat mereka” (HR. Thabrani).
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “sesungguhnya Allah itu Maha indah dan suka kepada keindahan” (HR. Muslim).
Kemudian pada riwayat lain: “sesungguhnya Allah itu Maha baik, menyukai kebaikan. Maha bersih, menyukai kebersihan. Sangat murah pemberiannya, menyukai kemurahan. Oleh karena itu bersihkanlah halaman-halaman rumahmu dan pekarangan-pekarangan mu” (HR.Turmudzi).
Rasulullah menjelaskan keutaman orang yang menghilangkan gangguan lingkungan, sebagai berikut: “ketika seseorang berjalan di suatu jalan kemudian ia menemukan dahan berduri, dan diambilnya, maka Allah berterimakasih (dipuji/diterima amalnya) dan mengampuni dosanya” (HR. Al-Bukhari).
Berdasarkan landasan di atas, maka pesan lingkungan dari agama bisa ditransfer dan menjadi inspirasi baru bagi pengelolaan Sumber daya Alam dan lingkungan hidup.
Rumusan fikih lingkungan sejatinya dapat digunakan sebagai panduan tindakan preventif agama supaya perilaku manusia tidak melawan alam.
Menjaga lingkungan bukan lagi sekadar wajib kifayah, melainkan berhukum wajib ‘ain, yakni kewajiban yang hanya bisa gugur apabila setiap insan di muka bumi ini menunaikannya. Inilah produk fiqih lingungan (al-bi’ah) yang mewajibkan menjaga lingkungan dan mengharamkan merusak lingkungan.
Dengan demikian, maka sebagai produk ijtihad fiqih lingkungan (al-bi’ah) hanya akan menjadi lembaran-lembaran tulisan jika tidak dipadu padankan dengan sikap mental yang dibangun melalui pemaknaan atas relasi manusia dan alam yang kemudian bisa kita sebut sebagai paradigm ekosofi.
Ekosofi merupakan penggabungan kata ecology dengan philosophy. Meskipun definisi ekosofi tergolong baru dalam dunia intelektual masa kini, sejatinya, gagasan-gagasan ini sudah muncul dalam tradisi-tradisi sufi di masa lampau.
Kajian-kajian ekosofi lebih mengarahkan manusia untuk lebih membumi. Manusia yang lebih membumi mempunyai pandangan bahwa spesies manusia adalah bagian organik dari bumi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Paradigma antroposentrisme dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkembang selama ini menyebabkan sederat malapetaka yang terjadi di bumi ini.
Seyyed Hossein Nasr melihat bahwa antroposentrisme telah mengalami pembusukan dari dalam berupa krisis spiritual sehingga rasa menguasai berpadu dengan motif non-ekonomi menyangkut aspek mental-spiritual yang mengendalikan aspek-aspek batin.
Aspek motif non-ekonomi ini ternyata lebih berbahaya dibandingkan motif ekonomi. Krisis lingkungan yang terjadi lebih disebabkan krisis spiritual.
Manusia modern telah melakukan desakralisasi terhadap alam. Alam telah dijadikan sebagai “komoditas/barang” dan harus dipakai serta dinikmati semaksimal mungkin.
Membangun kembali kesadaran spiritualitas yang menyangkut cara pandang manusia, baik dalam skala dirinya, sesamanya, lingkungannya serta terhadap Tuhannya adalah hal yang penting dilakukan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya