KOMPAS.com - Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya internet, turut memunculkan kerentanan dan ancaman baru bagi remaja berupa kekerasan berbasis gender online (KGBO).
Kepala Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nawawi mengatakan, dari berbagai bentuk KGBO, non-consensual intimate image abuse (NCII) menjadi sebuah fenomena global. NCII adalah distribusi foto atau video intim seseorang tanpa sepengetahuan atau concern mereka.
"Hal ini memberikan konsekuensi meningkatnya kekerasan seksual terhadap perempuan," kata Nawawi dalam webinar bertajuk Reproductive Issues & Sexual Education (RISE), Kamis (25/7/2024), sebagaimana dikutip dari situs web BRIN.
Baca juga: Aturan Perlindungan Anak di Dunia Digital Harus Ditegakkan
Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, sepanjang 2022 terdapat 82 kasus KGBO.
Sementara data dari Kepolisian RI (Polri) mengungkapkan, ada 3.200 kasus penanganan kekerasan anak, termasuk kekerasan secara seksual melalui media sosial.
Sementara itu, Peneliti PRK BRIN Anastasia Septya Titisari menyampaikan, berdasarkan penelitian pada 2015, ada sekitar 5,3 persen remaja melaporkan pernah melakukan hubungan seksual.
"Kebanyakan mereka melakukan hubungan seksual pertama kali sebelum umur 15 tahun," kata Anastasia.
Di sisi lain, paparan teknologi informasi dan internet kini semakin masif dan bahkan dapat dijangkau sejak dini , termasuk mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012 yang dikenal sebagai Generasi Z (Gen Z).
Baca juga: Evaluasi Pemilu 2024, Diskriminasi dan Kekerasan pada Perempuan Meningkat
"Sejak kecil, Gen Z sangat akrab dan fasih dengan teknologi dan sosial media, bahkan sangat tergantung pada internet," jelas Anastasia.
Dia menambahkan, internet turut memengaruhi gaya hidup, salah satunya motivasi penggunaan aplikasi kencan pada remaja.
"Terdapat 13,9 persen remaja menggunakannya (internet) untuk mencari sex partner," urainya.
Ada lagi sebuah scooping review yang dilakukan pada 2023 menemukan, pengguna aplikasi kencan memiliki prevalensi yang cukup tinggi mengalami kekerasan seksual.
Dia juga mengungkap studi yang sama bahwa perempuan merupakan kelompok yang berisiko mengalami kekerasan seksual dalam penggunaan aplikasi kencan.
Baca juga: 6 Tahun Terakhir, Komnas Perempuan Terima 308 Aduan Kekerasan Berbasis Gender
Anastasia mencontohkan kasus NCII di Australia meningkat hingga enam kali lipat di antara pengguna aplikasi kencan selama lockdown pandemi Covid-19.
"Sebuah kanal media Australia juga memaparkan, aplikasi kencan dapat menjadi senjata baru bagi para pelaku kekerasan seksual karena sifatnya yang anonim. Selain itu penghapusan akun tidak menjamin pelaku untuk berhenti melakukan aksinya," imbuhnya.
Sementara itu, Koordinator Awas KBGO Southeast Asia Freedom of Expression Net (SAFEnet) Wida Arioka membeberkan, aduan KBGO yang mereka terima sepanjang Januari-Maret 2024 mencapai 480.
"Perempuan merupakan yang paling terdampak sebanyak 62,1 persen. Tetapi laki-laki juga mengalami peningkatan menjadi 36,9 persen" bebernya.
Baca juga: Mahasiswa UNP Kembangkan Aplikasi Cegah Kekerasan Seksual Anak
Jika dilihat berdasarkan usia, usia 18-25 tahun menjadi kelompok yang sangat rentan dengan persentase aduan 57 persen, diikuti oleh kelompok usia di bawah 18 tahun sebesar 26 persen.
"Jika dilihat dari jenis kasusnya, ancaman penyebaran konten menjadi kasus terbanyak dengan jumlah 253 kasus, kemudian diikuti oleh sextortion 90 kasus, dan NCII 73 kasus," ujar Wida.
Meski demikian, Wida menyatakan angka tersebut layaknya gunung es, karena masih belum diketahui seberapa besar kasus KGBO yang belum tercatat.
Korban juga berpotensi mengalami dampak yang cukup besar seperti psikologi, ekonomi, keterasingan sosial, mobilitas terbatas atau dibatasi, dan menyensor diri karena merasa malu atau takut.
Baca juga: Anak Selalu Jadi Korban dari Kekerasan dalam Rumah Tangga
Agar lebih aman dalam menggunakan internet, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pengguna.
Di antaranya adalah melakukan inventarisasi atas seluruh aset digital serta memberikan pengaturan keamanan dan privasi, seperti verifikasi dua langkah dan mengubah kata sandi berkala.
"Terkadang korban NCII apalagi yang punya hubungan dekat dengan pelaku, tidak menyadari bahwa ia sudah memberikan akses berbagai sosial medianya kepada pelaku," tuturnya.
Jika mengalami KBGO, Wida menyarankan korban untuk tetap tenang dan menyimpan segala barang bukti seperti tautan dan tangkapan layar.
"Petakan risiko yang akan terjadi dengan mencari tahu siapa pelakunya, motif, di mana, kenapa, dan bagaimana ia melakukannya," jelas Wida.
Jika berniat mengajukannya ke jalur hukum, disarankan mencari bantuan lembaga bantuan hukum terdekat untuk pendampingan dalam menyusun kronologi kasus.
Baca juga: Tantangan Jurnalis Saat Alami Kekerasan, Lambatnya Aparat Hukum
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya