KOMPAS.com - Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman menilai teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon atau carbon capture storage (CCS) bakal memperpanjang pemanfaatan energi fosil.
"Teknologi CCS merupakan opsi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang juga dapat memperpanjang masa pemanfaatan energi fosil," kata Saleh, sebagaimana dilansir Antara, Minggu (28/7/2024).
Menurut dia, Pemerintah Indonesia berkomitmen mewujudkan netral karbon alias net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Baca juga: BRIN: Perlu Ratusan Tahun Pulihkan Cadangan Karbon di Lahan Bekas Mangrove
Dalam rencana tersebut, gas bumi menjadi tulang punggung transisi energi menuju energi bersih.
Dia menambahkan, orang akan berlomba-lomba menggunakan gas bumi dalam melakukan kegiatannya.
"Penggunaan batu bara dan gas masih cukup besar dalam bauran energi nasional hingga tahun 2060 yang terlihat dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)," sebut Saleh.
Saleh menuturkan, dampak perubahan iklim sebagai akibat meningkatnya GRK memerlukan berbagai strategi untuk mengurangi dampaknya terhadap lingkungan.
Baca juga: BRIN: Perlu Ratusan Tahun Pulihkan Cadangan Karbon di Lahan Bekas Mangrove
Pemanfaatan teknologi CCS dapat mengurangi GRK ke atmosfer yang dapat memperpanjang jangka waktu pemanfaatan energi fosil.
Dia menambahkan, ada banyak sumur migas di Indonesia yang mengandung konsentrasi karbon dioksida cukup tinggi.
"Banyak pula sumur-sumur migas yang sudah depleted atau habis, sehingga memerlukan enhanced oil recovery (EOR) atau enhanced gas recovery (EGR) untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi migas," katanya.
Selain itu, jelas Saleh, perkembangan sektor industri yang bersifat hard to abate atau harus menggunakan karbon dalam proses produksinya, sehingga memerlukan CCS.
Baca juga: KLHK: Nilai Ekonomi Karbon Penting untuk Turunkan Emisi
Berbagai penelitian sedang berlangsung untuk memanfaatkan karbon dioksida agar tidak lagi menjadi limbah, tetapi berpeluang menjadi komoditas.
Hal itu membuka peluang untuk mendapatkan nilai ekonomi karbon dan terbukanya potensi multi sources multi storage untuk CCS.
Saleh melanjutkan potensi multi sources multi storage untuk CCS akan memerlukan banyak pipa sebagai akses. Agar biayanya lebih murah, maka pipa yang digunakan tersebut harus open access.
"Jika menggunakan pipa open access dengan lokasi lapisan saline aquifer yang sama, akan berpotensi menurunkan biaya CCS. Salah satu tugas BPH Migas adalah menentukan tarif tol untuk pipa transmisi gas. Jadi, kami juga harus bersiap mendukung pengembangan CCS ini," katanya.
Baca juga: KESDM: Aturan Turunan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Sudah Diharmonisasi
Saleh menyampaikan, saat ini terdapat 70 ruas transmisi gas yang digunakan untuk mengangkut gas di seluruh Indonesia.
Di setiap ruas tersebut, terdapat pipa yang pemanfaatan pengangkutan gasnya mencapai 60 persen, tetapi ada pula di bawah 30 persen. Artinya, masih banyak ruang yang dapat dimanfaatkan untuk pengangkutan, termasuk hasil dari teknologi CCS.
Sementara, Kepala Badan Geologi Mohammad Wafid menyampaikan Badan Geologi selama ini berperan penting dalam eksplorasi formasi bebatuan yang menjadi batuan reservoir.
Menyusul pemanfaatan teknologi CCS, Badan Geologi dihadapkan pada tantangan baru untuk dapat menemukan dan mendata formasi batuan yang memiliki potensi besar dalam penyimpanan karbon.
Saat ini, Badan Geologi sedang melakukan inventarisasi untuk menghitung potensi CCS di Indonesia, terutama pada cekungan sedimen frontier yang selama ini belum terdapat aktivitas signifikan.
Baca juga: Mengenal Jejak Karbon dan Jenis-jenisnya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya