JAKARTA, KOMPAS.com - Kisah perjuangan para tokoh dalam pelestarian ekosistem mangrove yang berperan penting bagi bumi, kerapkali belum mendapat perhatian lebih.
Oleh karena itu, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melalui acara "Mangrove for Future", menghadirkan sosok “local champion” yang berperan penting dalam merehabilitasi ekosistem mangrove di pesisir pulau Indonesia.
Dalam satu sesi khusus bertajuk “Mangrove Talks” yang digelar pada Sabtu (27/7/2024), BRGM menghadirkan tiga tokoh lokal di dalam wilayah kerja BRGM, yaitu Rudi Hartono dari Kalimantan Barat, Loesye Fainno dari Papua Barat, dan Yudi Amsoni dari Bangka Belitung.
Baca juga: Deforestasi Mangrove Mengancam, Ini Upaya Pemerintah
Ketiga tokoh lokal ini datang dari latar belakang yang berbeda-beda, namun mempunyai kegigihan yang sama kuatnya dalam menjaga ekosistem mangrove.
"Mangrove Talks memberikan ruang bagi masyarakat lokal untuk berbagi cerita dan pengalaman mereka dalam upaya rehabilitasi mangrove di wilayah mereka masing-masing”, ujar Sekretaris BRGM, Ayu Dewi Utari, saat ditemui usai acara, Sabtu.
Cerita pertama diawali dari seorang pemuda asal Desa Sungai Kupah, Kalimantan Barat, bernama Rudi Hartono. Ia merupakan peraih penghargaan Kalpataru termuda pada tahun 2022 dengan kategori perintis.
Rudi mempunyai peran besar dalam menggerakkan pemuda di desanya untuk ikut serta menjaga mangrove, sejak 2017.
Hal itu tentunya tidak mudah. Sebab, alumni Universitas Tanjungpura bergelar sarjana pendidikan ini mengurungkan niatnya untuk menjadi seorang guru, ataupun sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sesuai harapan sang ibunda.
"Saya memilih pulang ke kampung halaman untuk mengangkat potensi yang ada di desa melalui hutan mangove," ujar Rudi.
Meski sempat ditentang dan dicap sebagai pemuda yang tak menghasilkan sesuatu, setelah konsisten beberapa tahun, ia akhirnya berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui 65 program rumah pembibitan yang ikut dirintisnya.
Wilayah Desa Sungai Kupah pun menjadi maju, dengan dibukanya destinasi wisata atraksi penanaman mangrove, hingga pemberdayaan usaha masyarakat setempat melalui berbagai produk berbasis mangrove.
Sementara itu, seorang mantan sales marketing manager hotel di kota Papua, Loesye Fainno, memilih pindah dan menetap di Kampung Friwen, Papua Barat, karena gelisah hutan mangrove di daerah itu kian hari makin habis ditebangi untuk keperluan masyarakat.
Baca juga: Mangrove di Indonesia Simpan 3 Milyar Ton Karbon, Penting Dijaga
"Ketika saya diajak suami untuk pulang ke kampung halamannya untuk berlibur, saya diajak berkeliling tanah adat kami. Saat berkeliling, saya melihat hutan kami dirusak, saya sedih. Saya pun bertanya 'Siapa yang merusak dan menebang pohon ini? Apakah ada upaya penyelamatan?' Mereka hanya terdiam," tuturnya.
Usai mengunjungi Kampung Friwen, Loesye kerapkali memikirkan nasib masyarakat adat, terutama perempuan dan anak-anak di sana. Menurutnya, kerusakan hutan akan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat maupun manusia di muka bumi.
Ia pun kemudian memberdayakan kelompok perempuan di kampungnya untuk mengolah tumbuhan mangrove menjadi produk pangan/kecantikan, tanpa merusak ekosistem mangrove itu sendiri.
"Usaha ini diharapkan memberi inspirasi kepada masyarakat tempat untuk memanfaatkan nilai ekonomi dari mangrove tanpa perlu menebang," imbuhnya.
Terakhir, ada seorang nelayan dan aktivis mangrove dari Desa Sukamandi Belitung Timur, Yudi Amsoni, yang dikenal sangat tegas dalam membongkar praktik pertambangan ilegal yang sangat marak di tempatnya.
"Kendala paling besarnya adalah ilegal mining. Mereka (perusahaan) menuntut agar saya mencabut laporan atau tuntutan saya di Polres Belitung Timur. Mereka mengintimidasi saya, mempersekusi," terang Yudi.
Dengan usaha tanpa henti, ia berhasil melindungi 200 hektare hutan mangrove terakhir di desanya. Sumbangan itu tentunya amat berharga bagi ekosistem mangrove di pulau Belitung yang terus digerus tambang timah ilegal.
"Saya menganggap mangrove ini adalah ayah dan ibu saya sendiri. Saya merasa ini sebagai tanggung jawab, kebutuhan. Karena semua mahkluk hidup butuh oksigen, butuh udara yang sejuk, butuh perlindungan. Jadi kebutuhan itulah, membuat saya konsisten menjaga mangrove di desa saya," tambahnya.
Sayangnya, karena keterbatasan informasi dan akses, cerita-cerita inspiratif ini belum mendapatkan atensi publik yang cukup luas. Mereka seringkali berjuang dan menghadapi masalah di lapangan tanpa dukungan orang lain.
Padahal, para pejuang mangrove dari pesisir mempunyai peranan yang amat signifikan dalam menyukseskan program rehabilitasi mangrove sesuai dengan lokusnya masing-masing.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Satyawan Pudyatmoko, mengapresiasi cerita-cerita dari masyarakat lokal pejuang mangrove.
“Kisah mereka sangat inspiratif dan bisa menjadi role model bagi masyarakat lain. Meskipun tidak semua orang punya kemampuan seperti mereka, tetapi inspirasi dan keberanian menghadapi tantangan di lapangan itu sangat penting untuk kita suarakan,” ujar Satyawan.
Semangat mereka untuk terus menjaga lingkungan dinilai sangat menginspirasi bagi pihak-pihak lain yang punya komitmen terhadap kelestarian lingkungan.
Kisah heroik dari mereka bertiga dipandang sebagai nilai berharga yang patut diceritakan langsung secara luas, agar menginspirasi dan melahirkan sosok pejuang mangrove yang lain.
“Harapannya, kesuksesan dan inisiatif mereka dapat direplikasi di daerah-daerah yang lain, sehingga melahirkan para pejuang mangrove yang baru untuk republik ini," pungkas Ayu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya