JAKARTA, KOMPAS.com – Data terkini dari Institute for Essential Service Reform (IESR) menunjukkan bahwa penggunaan energi surya di Indonesia masih sedikit dan tertinggal dibandingkan sejumlah negara lain.
Padahal, Analis Sistem Ketenagakerjaan dan Energi Terbarukan IESR Alvin Putra S mengatakan, potensi energi surya di Tanah Air cukup besar.
Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), energi surya memiliki potensi terbesar di antara energi baru terbarukan (EBT), yakni 3.294 gigawatt (GW). Namun, pemanfaatannya baru 675,1 megawatt (MW) per Juni 2024.
Baca juga: Sebar PLTS Jadi Solusi atas Hambatan Energi Surya
Berdasarkan target Indonesia dalam RUKN, Indonesia harus menambahkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat dari 2023-2030. Artinya, setiap tahun secara global perlu menambahkan 1.000 giga watt (GW) dari pembangkit energi terbarukan, dengan kontribusi terbesar dari energi surya.
"Di tahun 2030, kita membutuhkan 14 GW energi surya, dan di tahun 2060, 134 GW. Artinya untuk sampai ke tahun 2030, kita membutuhkan minimal penambahan 2 GW (energi surya) per tahunnya, karena sekarang kita masih jangka 500an, 600an MW," ujar Alvin saat Media Luncheon di Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2024).
"Kita butuh dalam waktu 7 tahun, 6 tahun itu, sekitar 100 GW. Jadi kebutuhan per tahunnya di Indonesia itu sekitar 2 GW, apabila ingin mengikuti draft RUKN," sambungnya.
Berdasarkan analisis IESR, Indonesia selama dua atau tiga tahun terakhir sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun, masih kalah dengan negara tetangga di Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand, hingga Malaysia.
Baca juga: Potensi Energi Surya Indonesia Sangat Besar, Perlu Dukungan Lebih Masif
“Tahun 2021 sampai 2023 penambahannnya hampir 400 walaupun sepertiganya didorong oleh adanya PLTS Terapung Cirata itu 145 mega watt (MW),” imbuh dia.
Adapun saat ini, kontribusi terbesar energi surya masih dipimpin oleh Tiongkok. Namun, negara-negara berkembang seperti India dan Brasil juga memperkuat posisi mereka sebagai pusat tenaga surya global.
Sementara, di kawasan Asia Tenggara, ada kemajuan signifikan dalam sektor energi surya. Vietnam dan Thailand merupakan pelopor dengan kapasitas energi surya yang besar.
Selain itu, Filipina, Malaysia, dan Singapura juga menunjukkan perkembangan cukup baik. Filipina, misalnya, mengalami peningkatan kapasitas yang pesat berkat kebijakan ekonomi yang konsisten dan dominasi pasar swasta.
Malaysia memanfaatkan tender skala besar untuk memperluas kapasitas suryanya, sementara Singapura terus memperluas proyek-proyek ekspor listrik sebagai bagian dari Singapore Green Plan 2030.
Menurut catatan IESR, meskipun kapasitas produksi modul surya Indonesia terbilang meningkat, mencapai 2,3 GW/tahun per Juni 2024, namun secara ukuran, efisiensi, harga dan kategori panel tier-1, Indonesia masih tertinggal dari modul surya impor.
Modul surya dalam negeri bahkan belum ada yang mendapatkan sertifikasi tier-1, sehingga sulit mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan internasional. Harga PLTS lokal juga 30-45 persen lebih tinggi dibandingkan PLTS impor.
Baca juga: Gunakan Energi Surya, Gereja Katedral Jakarta Hemat Biaya Listrik 30 Persen
Artinya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal biaya dan kapasitas produksi domestik. Modul surya lokal saat ini lebih mahal dibandingkan dengan produk impor dan masih memerlukan peningkatan dalam hal efisiensi dan kapasitas produksi.
Oleh karena itu, IESR mendorong pemerintah untuk meningkatkan daya saing PLTS lokal dengan memberikan insentif baik fiskal maupun non-fiskal untuk mengurangi biaya produksi, terutama apabila berorientasi ekspor.
Kemudian, melakukan kerjasama dengan produsen global untuk transfer teknologi, serta memberikan kepastian regulasi dan pasar domestik. Selain itu, pemerintah diminta mengatasi hambatan permintaan dalam negeri yang rendah, salah satunya dengan pengadaan tender yang berkala.
Perekayasa Ahli Utama, Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Arya Rezavidi, mengungkapkan bahwa keberadaan rantai pasok PLTS yang kuat akan meningkatkan nilai tambah mineral penting untuk pembuatan modul surya.
Misalnya, nilai tambah ekonomi industri rantai pasok sel surya kristal silikon secara optimal dapat menjad 637,5 kali lipat dibandingkan dengan biaya awal.
“Pengembangan PLTS tidak hanya untuk mencapai target bauran energi terbarukan, tapi juga menandakan bahwa Indonesia menguasai teknologi PLTS yang kompetitif,” ujar Arya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya