KOMPAS.com - Perusahaan di dunia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan dalam menerapkan komitmen keberlanjutan.
Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan mengatakan, di Indonesia, tantangan pertama adalah rendahnya pemahaman dan kesadaran di kalangan eksekutif maupun shareholder perusahaan.
“Terkadang pihak eksekutif punya pemahaman dan kesadaran tinggi tentang keberlanjutan, namun shareholder belum punya pemahaman dan kesadaran tentang keberlanjutan,” ujar Maftuchan saat dihubungi Kompas.com, Kamis (29/8/2024).
Baca juga: Alasan Perusahaan Besar di Dunia Mundur dari Komitmen Keberlanjutan
Kemudian, kata dia, aspek infrastruktur dan sumber daya lainnya juga masih belum sepenuhnya mendukung praktik bisnis yang berkelanjutan.
Menurutnya, kebijakan insentif dan disinsentif untuk praktik bisnis berkelanjutan harus digalakkan oleh pemerintah, sebagai salah satu pendorong yang kuat.
“Di sisi lain, konsumen juga masih belum memiliki demand yang tinggi kepada perusahaan agar mempraktikkan bisnis yang berkelanjutan,” imbuhnya.
Ia menilai, demand yang tinggi dari konsumen akan memicu perusahaan untuk berubah menjadi entitas yang berkelanjutan.
Baca juga: Hari Ini KG Media Gelar Lestari Summit 2024, Dorong Keberlanjutan dan Inklusivitas
Sebagai informasi, beberapa waktu terakhir, sejumlah perusahaan besar di dunia telah mundur atau mengurangi komitmen keberlanjutan mereka.
Seperti dilaporkan Harvard Business Review (20/8/2024), beberapa perusahaan tersebut antara lain Nike, Tractor Supply Co., BP, Shell, hingga Crocs.
Beberapa alasannya disebabkan oleh sulitnya mengukur wujud dan angka dampak dari keberlanjutan, target tidak realistis, potensi greenwashing, hingga kurangnya investasi pada ekuitas environmental, social, governance (ESG) dibandingkan dana tradisional.
Baca juga: Olahkarsa Dukung Keberlanjutan Sektor Industri
Lantas, bagaimana sikap perusahaan-perusahaan di Indonesia saat ini, dalam menghadapi tantangan yang ada?
“Berdasarkan pengamatan saya, perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan besar, masih cukup ambisius dalam penerapan prinsip sustainable business yang selaras dengan SDGs dan ESG Principle,” terang Maftuchan.
Hal ini, kata dia, terlihat dari adanya divisi atau tim sustainability di banyak perusahaan dan adanya laporan keberlanjutan (sustainability report) yang dipublikasi secara berkala.
“Hal ini tidak terlepas dari komitmen formal pemerintah dan desakan publik pada isu sustainability,” imbuhnya.
Baca juga: FIFGROUP Gelar Kompetisi Ide Inovatif Berbasis Keberlanjutan
Namun, ia mengakui masih adanya gap yang tinggi antara kebijakan perusahaan (formal regulation) yang menegaskan komitmen keberlanjutan, dengan praktik bisnis yang dijalankan.
Oleh sebab itu, perlu ada upaya melihat lebih mendalam gap ini melalui assessment (penilaian) yang melibatkan pihak eksternal perusahaan.
“Perusahaan perlu mengintegrasikan kebijakan formal perusahaan dengan praktik bisnis yang dijalankan,” tegasnya.
Sebab, kata dia, kebijakan yang baik tentang keberlanjutan tidak akan berdampak pada penurunan emisi, jika praktik bisnisnya tidak sejalan dengan kebijakan keberlanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya