JAKARTA, KOMPAS.com - Ekosistem ekonomi sirkular yang belum terbentuk, menjadi tantangan utama pengelolaan sampah di Indonesia.
Sebagai informasi, ekonomi sirkular merupakan konsep membuat nilai produk, bahan, dan sumber daya dalam perekonomian selama mungkin, sehingga meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan.
Direktur Pengurangan Sampah Ditjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Fazri Putrantomo mengatakan dalam ekonomi sirkular, masyarakat yang tadinya terbiasa dengan pola pengolahan sampah linear ekonomi, hanya kumpul angkut buang, diubah menjadi pola pengolahan sampah sirkular ekonomi.
Baca juga: Tak Ada TPA Baru Setelah 2030, Pemilahan Sampah dari Sumber Jadi Solusi Utama
“Tantangan terbesar implementasi ekonomi sirkular dalam pengolahan sampah di Indonesia, adalah bagaimana kita bisa membentuk ekosistem ekonomi sirkular itu sendiri,” ujar dia, Selasa (3/9/2024).
Dengan terbentuknya ekosistem, semua lapisan masyarakat bisa memahami bahwa sampah tidak hanya langsung dibuang, karena memiliki nilai jika dimanfaatkan kembali.
“Sampah ini bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan pola sirkular, sehingga sampah memiliki nilai manfaat ekonomi lebih yang bisa berdampak (bagi masyarakat),” imbuhnya.
Sementara, Direktur Public Affairs, Communications, and Sustainability, CCEP Indonesia, Lucia Karina, mengatakan tantangan terbesar ekonomi sirkular adalah kolaborasi.
“Tantangan terbesar itu sebetulnya pelibatan semua pihak,” ujar Karina, dalam kesempatan yang sama.
Ia menilai, membentuk ekosistem ekonomi sirkular membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Khususnya, untuk menggerakkan bank sampah sebagai bagian dari ekonomi sirkular.
Baca juga: Sampah Organik Disulap Jadi Pupuk, Bantu Pangkas Emisi Gas Rumah Kaca
“Makanya saya memperkenalkan yang namanya nona helix. Ada sembilan pemangku kepentingan, baik itu produsen, pemerintah, pihak akademisi, tokoh komunitas NGO, pemuka agama, perbankan, dan lain-lain,” tuturnya
Oleh karena itu, ia menilai insentif menjadi penting, terutama dalam situasi Indonesia saat ini.
Dengan insentif ataupun penghargaan kepada masyarakat, penggerak bank sampah, produsen, terutama pemerintah daerah, diharapkan dapat menjadi pendorong agar setiap individu terpacu mengolah sampah.
“Belum semua orang sadar, kesadaran masih rendah, infrastruktur juga belum 100 persen bagus. Kemudian sistem regulasi kita seperti ini, jadi untuk menggerakkan orang itu maka insentif sebaiknya harus ada,” pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya