KOMPAS.com – Lembaga think tank energi Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai jaringan listrik lintas negara-negara anggota ASEAN dinilai penting untuk penetrasi energi terbarukan di kawasan.
Hal ini perlu tercermin dalam Visi ASEAN pasca-2025 yang menekankan pentingnya transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim.
Tanpa peta jalan transisi energi yang jelas, kawasan ini berisiko terjebak dalam ketergantungan karbon yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi hingga 35 persen pada 2050 berdasarkan Studi NTU Singapura dan Universitas Glasgow.
Baca juga: Stasiun Pengisian Daya Kendaraan Listrik Berpotensi Tingkatkan Bisnis Lokal
Manajer Diplomasi Iklim dan Energi IESR Arief Rosadi menuturkan, jaringan lintas negara ASEAN Power Grid (APG) dapat dioptimalkan untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan yang tinggi dan memastikan ketahanan energi kawasan.
Arief menyebut Asia Tenggara juga mempunyai sumber daya mineral kritis yang diperlukan dalam pengembangan energi terbarukan.
Contohnya seperti nikel sebesar 27 persen, timah 32 persen, unsur tanah jarang 36 persen, dan bauksit dari 22 persen dari total cadangan global.
Dia menambahkan, keberadaan sumber daya mineral kritis di Asia Tenggara dapat merangsang investasi lebih lanjut di sektor manufaktur modul surya dan baterai.
Baca juga: Cetak Sejarah, 50 Persen Listrik Eropa Dipasok Energi Terbarukan
“Serta dapat mendorong potensi kerjasama energi transisi energi yang lebih luas di kawasan yang dapat memberi nilai tambah ekonomi” jelas Arief dalam Lokakarya Menuju Asean Summit pada Rabu (18/9/2024), sebagaimana rilis yang diterima Kompas.com.
Selain itu, penurunan harga teknologi energi terbarukan seperti panel surya membuka peluang besar untuk pemanfaatan energi terbarukan di kawasan ini.
Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR Alvin P Sisdwinugraha memaparkan, penurunan harga modul surya sebesar 66 persen dalam lima tahun terakhir turut mendorong adopsi energi surya di kawasan ASEAN.
Selain itu, produksi modul surya di Asia Tenggara juga dinilai kompetitif.
Baca juga: Akses Listrik ke Desa Kecil Diklaim Tidak Bisa Kurangi Kemiskinan
Oleh karena itu, diperlukan insentif industri untuk mendukung pengembangan sektor ini, seperti yang telah diterapkan di Malaysia dan India.
Dia mencontohkan, kesepakatan kerja sama ekspor listrik antara Indonesia dan Singapura yang mensyaratkan pembangunan rantai pasok energi surya di Indonesia merupakan langkah penting menuju terwujudnya ASEAN Power Grid.
Di samping itu, potensi penciptaan lapangan kerja hijau dari kerja sama tersebut juga signifikan, khususnya dalam industri manufaktur modul surya yang membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan tinggi.
“Kerja sama antara institusi pendidikan dan riset lokal dengan industri diperlukan untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerja dan memastikan transfer teknologi kepada produsen lokal,” tegas Alvin.
Baca juga: Regulasi dan Pendanaan Jadi Tantangan Transisi Energi di Sektor Tenaga Listrik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya